Marni: The Story of Wewe Gombel dielu-elukan sebagai the next action-horror movie (yang juga dijadikan bahan promosi rumah produksi) selepas Qodrat yang membawa angin segar dua tahun lalu. Keputusan itu ditanggapi dengan serius dengan menggandeng Uwais Team sebagai koreografinya yang menjadi nilai lebih film ini. Setidaknya, untuk ukuran horror buatan RA Pictures, Marni: The Story of Wewe Gombel tampil cukup superior meski seiring berjalannya durasi penyakit tersebut harus kambuh lagi.
Ditulis naskahnya oleh Tisa TS bersama sang sutradara, Billy Christian, sesuai judulnya, Marni: The Story of Wewe Gombel meluangkan waktu untuk bercerita dengan menampilkan dua lini masa secara bersamaan. Persentasi keduanya sejatinya tampil menarik, yang membuat paruh awal filmnya tampil berisi sekaligus mampu menggaet atensi.
Semuanya berawal ketika kepindahan Rahayu (Hannah Al Rashid) yang memboyong kedua anaknya, Anisa (Amanda Rigby) dan Aan (Athar Barakbah) ke sebuah desa tempat sang mantan suami (keputusan ini memunculkan lubang logika yang cukup menganga selain sengaja demi menjalankan naskahnya). Mereka menempati rumah Pak Lurah (Mathias Muchus) dan mulai merasa apatis mendapati kepercayaan penduduk desa terhadap mistisme begitu kuat.
Selayaknya orang kota yang enggan percaya akan hal tersebut, baik Rahayu maupun Anisa tak mengindahkan peringatan sekaligus perkataan masyarakat terhadap legenda urban yang masih sering dibicarakan, pun kita tahu nantinya mereka akan dihukum selepas Aan diculik oleh Marni (Ismi Melinda), wewe gombel yang tak segan mengambil siapa saja anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua.
Motivasi wewe gombel adalah potensi yang bisa dikembangkan secara lebih jauh oleh film yang mengangkat kisahnya, demikian pula dengan Marni: The Story of Wewe Gombel yang turut menyentil perihal isu parenting. Tak hanya itu saja, filmnya pun menambahkan bobot lain seputar pelecehan terhadap perempuan yang sayangnya hanya berjalan di permukaan.
Alih-alih mengembangkan potensi dengan melakukan eksplorasi, Marni: The Story of Wewe Gombel justru sibuk menampilkan beragam penampakan dan kembali ke pakem horor arus utama yang salah kaprah dengan menampilkan jump scare sesering mungkin. Akibatnya, beberapa diantaranya tak mempunyai urgensi selain hanya eksis menambal durasi. Sebutlah penampakan pocong yang tak ada kaitannya dengan cerita, demikian pula dengan sosok hantu di kamar Anisa, yang meski memiliki desain unik berkat pemanfaatan CGI mumpuni, menjadi percuma apabila tak memiliki relasi dengan narasi.
Berlangsung selama dua jam (tepatnya 119 menit) Marni: The Story of Wewe Gombel sejatinya bisa dipangkas menjadi 90 menit demi menjauhi kesan draggy yang acap kali terjadi pada film ini. Selain draggy, film ini pun kerap tersandung cacat logika yang mengganggu selama menontonnya, bukan hanya satu atau dua melainkan begitu banyak lubang yang membuktikan bahwa pembuatnya kurang piawai dalam mengontruksi cerita tanpa pernah dipikirkan sebelumnya.
Memasuki babak ketiga, Marni: The Story of Wewe Gombel tampil menggila dengan menambahkan kadar aksi seiring pertolongan Tama (Reza Hilman), anak Pak Lurah yang alim sekaligus jago bela diri berhadapan langsung dengan Marni. Keseruan atas nama hiburan tumpah ruah disini, meski kembali, terkadang penggunaan pencahayaan yang terlau gelap menghalangi kenikmatan disamping ketidakonsistenan yang selalu mengganggu pikiran, utamanya terkait rules sang entitas yang dalam beberapa adegan tidak dapat disentuh, namun di lain adegan menjadi sasaran hantam.
Semua kekurangan di atas mungkin dapat dimaklumi, namun tidak dengan keputusan filmnya untuk membagi narasi ke dalam dua bagian, seolah penceritaan tadi sengaja tak diselesaikan. Marni: The Story of Wewe Gombel kembali dijangkiti penyakit rumah produksi yang giat meraup pundi finansial namun lalai akan penceritaan.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar