Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - WINNIE-THE-POOH: BLOOD AND HONEY 2 (2024)

 

Bertindak sebagai sekuel bagi film yang pada tahun lalu menggemparkan publik dengan mengubah citra dongeng anak-anak pengantar tidur menjadi mimpi buruk pemusnah nyawa, Winnie-the-Pooh: Blood and Honey 2 jelas adalah sebuah peningkatan dibanding pendahulunya yang dibuat asal jadi. Berbekal empat kali lipat dari produksi film pertama (baca:500 ribu dollar) sutradara Rhys Frake-Waterfield ditunjuk kembali untuk sekedar memamerkan segala kebrutalan dan kemewahan sarat komparasi dari pendahulunya.

Setidaknya hal itu ia lakukan sedari paruh awal filmnya yang menampilkan tiga wanita dalam sebuah bus tengah memainkan sebuah papan arwah (kurang lebih seperti Ouija) yang langsung menjadi santapan empuk bagi Pooh (Ryan Olivia) dan Piglet (Eddy MacKenzie) dengan membawa teman barunya, Owl (Marcus Massey) dalam sebuah sekuen pembantaian yang akan membuat penggemar slasher kegirangan, lengkap dengan sebuah shoot yang menyiratkan sebuah kejahatan dalam pemandangan bus yang turut meledak.

Kisahnya sendiri mengambil latar satu tahun selepas kejadian di film pertama, di mana Christopher Robin (Scott Chambers yang menggantikan Nikolai Leon) dituding sebagai dalang dibalik tragedi yang disebut Hundred Acre Massacre pasca selamat dari kejaran maut yang mengharuskannya berkonsultasi dan melakukan terapi di bawah bimbingan Mary Darling (Teresa Banham).

Lupakan segala drama dari trauma yang dialami Christopher Robin yang dalam naskah buatan Matt Leslie (berdasarkan cerita dari sang sutradara) tak memberikan sebuah kedalaman selain hanya sebatas tempelan yang berjalan di permukaan. Winnie-the-Pooh: Blood and Honey 2 sadar akan kapasitasnya untuk sekedar memberikan hiburan dengan menjual segala kegilaan dan kesadisan.

Hasilnya memang tak seberapa buruk dan terlihat cukup mumpuni, meski untuk penggemar horror-slasher kebrutalan yang dihasilkan tak seberapa menyakitkan. Terkadang, penggunaan editing kasar yang diniatkan sebagai upaya penggambaran aksi chaotic tak memberikan sebuah dampak signifikan selain menghilangkan urgensi serta membuat filmnya tak mempunyai arti.

Lagipula apa yang diharapkan dari sebuah film yang dibuat hanya untuk sekedar bersenang-senang dalam upaya menghaburkan uang demi mendapatkan lagi keuntungan? Secuil peningkatan jelas patut diapresiasi bagi film yang tak kelabakan lagi mengisi barisan teror dengan menampilkan wanita mandi berbikini lalu melakukan selfie.

Narasi yang dihasilkan oleh Leslie paham betul bagaimana membawa arah kemajuan bagi filmnya dengan merombak segala aturan dalam skena menciptakan ketakutan. Terdapat motivasi personal dari karakter Christopher Robin yang lebih berdaging meski eksekusinya tak digarap secara matang, sebatas dijadikan jembatan bagi konklusi dalam upaya mencari jawaban dan bangkit dari trauma.

Potensi Winnie-the-Pooh: Blood and Honey 2 untuk menggila di babak ketiga mungkin tak sepenuhnya terealisasi, meski dalam pengadegannya ia turut mengenalkan si pemangsa baru dalam wujud Tigger (Lewis Santer) dengan desain yang cukup menyeramkan dan tak sebatas mengandalkan topeng yang hanya dikenakan oleh seseorang (berlaku juga untuk tiga karakter tadi). Eksekusinya diselesaikan secara buru-buru dengan sekali lagi, penyuntingan yang kurang kompeten akibat lalai dalam memperhatikan timing.

Di saat bersamaan, timbul secercah harapan pasca Winnie-the-Pooh: Blood and Honey 2 menampilkan sebuah twist sarat potensi untuk dikembangkan secara lebih jauh. Biarpun tak seberapa pintar dan berbobot, twist-nya menjadi jembatan sempurna bagi The Twisted Childhood Universe (TCU) dalam mengelaborasi segala sisi kelam cerita anak dengan segala imajinasi liar seorang sutradara yang mungkin kali ini kurang beruntung dalam penggarapannya. Semoga sekuelnya tahun depan dan Peter Pan's Neverland Nightmare di penghujung tahun ini dapat memberikan sebuah penebusan yang setimpal.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar