Jurnal Risa by Risa Saraswati. Demikian judul yang terkesan eksis yang sampai menyebut namanya secara dua kali. Mungkin, hal tersebut merupakan gimmick supaya filmnya mampu lebih menjual atau untuk sekedar mengakali perbedaan dengan serial Jurnal Risa buatan Awi Suryadi, yang mana terlampau berlebihan dan tak perlu. Dijual sebagai film mockumentary (meski pada kredit filmnya menyebutkan documented by), Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah lagi-lagi hasil adaptasi berbekal sebuah eksploitasi eksistensi.
Filmnya sendiri dibuka oleh sebuah dokumentasi rangkuman hal-hal klenik yang berpotensi menarik andaikan dieksplorasi, selanjutnya tim film dokumenter beralih fokus untuk mengikuti Risa Saraswati bersama tim jurnalnya yang masing-masing merupakan keluarganya sendiri. Guna membuktikan eksistensi makhluk gaib sekaligus kebutuhan konten, tim Jurnal Risa melakukan penelusuran di Subang, Jawa Barat, tepatnya di sebuah gedung terbengkalai dengan membawa tiga peserta uji nyali.
Seperti biasa, awalnya penelusuran berjalan baik-baik saja hingga petaka tiba datang dari Prinsa (Prinsa Mandagie memainkan versi fiktif dirinya sebagaimana anggota tim Jurnal Risa yang lain) yang dengan sengaja memanggil salah satu sosok yang namanya tidak boleh dipanggil. Samex namanya. Sosok yang paling ditakuti Risa bersama tim lainnya karena sang entitas berasal dari keluarganya sendiri semasa hidup.
Ditulis naskahnya oleh Lele Laila (yang berpengalaman menulis sebagian IP adaptasi Risa, mulai dari trilogi Danur, dwilogi Asih hingga Ivanna), Jurnal Risa by Risa Saraswati mungkin terlalu modern untuk disebut mockumentary, tetapi saya takkan mempermasalahkan hal itu karena Rizal Mantovani selaku sutradara berpikiran mengemas filmnya layaknya kanal YouTube Jurnal Risa dengan segala ciri khasnya.
Hasilnya meski tak sepenuhnya berhasil mampu tersaji cukup baik. Kendala akan logika muncul tatkala pada paruh awal filmnya, Jurnal Risa by Risa Saraswati ingin membuat rekaman layaknya yang terjadi dalam Paranormal Activity dengan segala kamera yang dipasang, salah satunya CCTV yang menjadi bumerang tersendiri kala Rizal memainkan jump scare yang melibatkan Indy Ratna Pratiwi di kamar Prinsa. Mungkin dari sini Rizal lupa mengemas filmnya dengan gaya mokumenter alih-alih menerapkan kamera film.
Jurnal Risa by Risa Saraswati seperti yang telah saya singgung tadi, hanya tampil untuk memanfatkan eksistensi alih-alih melakukan sebuah eksplorasi. Narasinya berjalan cepat tanpa melibatkan penonton untuk sekedar memahami hingga terkoneksi dengan karakternya yang luput ditindaklanjuti, karena fokus utama filmnya adalah menampilkan teror sebanyak mungkin meski itu harus melakukan repetisi. Kurang lebih siklusnya seperti ini: tim merekam Prinsa-mati lampu-Prinsa menghilang-Prinsa Kerasukan-tim mencari-ulangi.
Selain miskin kreativitas, Jurnal Risa by Risa Saraswati pun miskin identitas. Konon, Samex adalah entitas yang paling ditakuti, bahkan tak sampai menyebut namanya tiga kali, sebatas membayangkan dan memikirkan pun sosoknya bisa saja hadir. Sudah seharusnya dan sepatutnya kejelasan akan hal ini diterangkan sebagai inti dari narasi yang harus dieksplorasi, bahkan memberi kaitan dengan cerita berdasarkan novel buatan Risa (Samex: Sawarga Malapetaka pun urung digali).
Setengah durasi berjalan, kurang lebih demikian yang terjadi dengan Jurnal Risa by Risa Saraswati. Itupun dengan tempo yang terlalu cepat sebelum penonton sempat menyimak building filmnya sendiri. Pengadeganan Rizal pun tak seberapa membantu, tak ayal jika filmnya terasa kosong dan kerap tampil draggy.
Memasuki babak ketiga, Jurnal Risa by Risa Saraswati barulah tampil unjuk gigi mengikuti perjalanan tim yang mengantar Prinsa ke kampung halaman Samex guna melangsungkan ritual pembersihan. Pujian patut dialamatkan kepada tim produksi yang mampu mengkreasi dan menjadikan tempat tersebut begitu penih misteri, demikian pula dengan penggunaan bahasa Sunda yang terasa otentik karena diucapkan oleh orang-orang yang paham akan aksen hingga budaya Prahyangan itu sendiri.
Meskipun demikian, Jurnal Risa by Risa Saraswati jika ditilik dari segi filmis amat kacau karena sebatas memperlihatkan kehebohan dalam balutan kekacauan tanpa memperhatikan urgensinya sendiri, salah satunya tatkala filmnya menampilkan alam lain pada prosesi ritual yang berpotensi membingungkan tanpa adanya sebuah pengaturan dan perhatian yang meyakinkan.
Sangat disayangkan memang, Jurnal Risa by Risa Saraswati hanya berakhir sebagai satu lagi adaptasi tanpa hati yang hanya mengandalkan finansial tanpa mengindahkan penceritaan. Para pembuatnya terobsesi melahirkan tontonan yang terasa nyata tanpa pernah memberikan nyawa bagi filmnya. Sungguh, repetisi dari judulnya sendiri mencermikan keseluruhan filmnya. Di saat yang bersamaan, sungguh ironis mendapati jatah screen time Risa Saraswati yang kebanyakan menghilang di sepanjang durasi.
SCORE : 2/5
0 Komentar