Hadir selaku prekuel bagi film Indonesia terlaris sepanjang masa, mudah menyebut bahwa Badarawuhi di Desa Penari hendak mengulangi kesuksesan film sebelumnya, yang mana sebuah hal yang wajar jika ditilik dari produksi dan bisnis. Tak hanya cukup sampai di situ, sebagaimana layaknya kebanyakan sekuel dibuat, kehadirannya pun menggebrak pakem dengan menyandang status "filmed for IMAX" sebagai film pertama di Asia Tenggara sekaligus film keempat di seluruh dunia. Dengan sederet pencapaian tadi, pertanyaan yang timbul justru bagaimana kualitasnya?
Menggantikan Awi Suryadi di bangku sutradara, Kimo Stamboel (Ratu Ilmu Hitam, Ivanna, Sewu Dino) melanjutkan penceritaan yang konon akan membahas asal-usul sang entitas bernama Badarawuhi (Aulia Sarah). Tentu, harapan tersebut sudah menjangkiti pikiran seiring proyeknya pertama kali diumumkan. Sayang, semuanya hanya sebatas angan-angan ketika naskah yang masih setia ditulis oleh Lele Laila sebatas melakukan carbon copy atau remake bagi film sebelumnya.
Tentu, sederet perbaikan jelas dilakukan. Sebutlah dengan mengurangi kadar jumpscare dan memilih meluangkan waktu untuk bercerita. Narasinya pun tampil cukup rapi di mana plot hole yang bertebaran di film pertama dihilangkan (sebutlah adegan mandi yang kali ini tampil lebih manusiawi) yang kemudian digantikan dengan sederet unsur mistisme yang kental seperti prosesi ritual.
Menarik memang-meski terkait kedalaman filmnya tak memberikan sebuah kesempatan. Menampilkan dua lini masa secara bergantian (settingnya sendiri tahun 1955 dan 1980), filmnya terkadang bak usaha penegasan ulang. Beruntung transisi rapi menjauhkan filmnya dari cap malas.
Semuanya berawal semenjak Mila (Maudy Effrosina) bersama sepupunya, Yuda (Jourdy Pranata) beserta temannya Arya (Ardit Erwandha) memutuskan untuk mengunjungi Desa Penari berbekal sebuah lukisan kertas. Dengan bantuan Jito (M. Iqbal Sulaiman) mereka sampai di desa dengan tujuan mengembalikan sebuah pusaka yang katanya bisa menyembuhkan ibu Mila dari sakit aneh yang di deritanya.
Tak butuh waktu lama bagi Mila bersinggungan dengan Badarawuhi, terlebih saat ia mengenal salah satu warga desa, Ratih (Claresta Taufan) yang nantinya memiliki tujuan yang sama. Dari sini, Badarawuhi di Desa Penari mengikuti perjalanan Mila bersama Ratih yang terpaksa harus melakukan ritual yang sudah lama tak dilakukan.
Pengadeganan Kimo dalam merangkai adegan tersebut tersaji menarik karena membiarkan mistisme mengatrol sepenuhnya, tanpa harus dibebani deretan penampakan yang mana hal tersebut sudah menguarkan keseraman. Begitupun dengan bidikan kamera Patrick Tashadian yang selalu menjadi langganannya berhasil menangkap visi sang sutradara dari berbagai juru dan menciptakan sebuah tontonan yang kentara mahal (budget produksinya sendiri sudah memfasilitasi hal itu).
Memasuki pertengahan, Badarawuhi di Desa Penari terasa stagnan ketika penceritaan dipenuhi kekosongan (juga pengulangan). Kimo mungkin belum bisa menjaga tensi filmnya, sehingga kebosanan dan kehampaan akan cerita sulit untuk dihindarkan. Terlebih, jika sudah menonton film sebelumnya, nyaris tak ada sebuah perubahan yang signifikan. Itulah mengapa penonton ditempatkan di posisi pihak serba tahu ketika karakternya masih ketinggalan dibelakang.
Biarpun demikian, Badarawuhi di Desa Penari ditutup oleh sekuen yang memuaskan, artistik dan sarat akan estetika ketika karakternya berada di Angakara Murka. Bukan hanya sebatas unjuk gaya saja, Kimo pun menyuntikkan keseraman yang bak melahirkan tontonan semacam Suspiria dengan sedikit sentuhan Night of the Living Dead. Peleburan kengerian dan keindahan semacam ini sejenak melupakan kekurangan yang masih bisa dimaafkan.
SCORE : 3/5
0 Komentar