Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - THE FIRST OMEN (2024)

 

Bertindak sebagai prekuel bagi fim The Omen (1976) sekaligus film keenam dari waralaba miliknya yang sudah berlangsung sejak 48 tahun lamanya, keputusan untuk memberikan sebuah penceritaan baru dari sutradara debutan Arkasha Stevenson (yang turut menulis naskahnya bersama Tim Smith dan Keith Thomas berdasarkan cerita yang dibuat oleh Ben Jacoby) memang terbilang riskan. Status horor fenomenal nan klasik sudah melekat pada film orsinalnya, menjadi sebuah bumerang kala penggarapannya tak memenuhi standarisasi seharusnya. Beruntung, dengan nafas dan sentuhan baru, The First Omen bukan hanya sebatas sajian aji mumpung, lebih dari itu filmnya memberikan sebuah penjelasan sekaligus pencerahan (bagi waralaba baru yang terbuka lebar).

Margaret (Neel Tiger Free) adalah seorang novisiat yang baru saja dikirim dari Amerika menuju Roma. Untuk memulai pengabdiannya kepada gereja ia ditugaskan untuk bekerja di sebuah panti asuhan. Semenjak menginjakkan kaki disana, perhatian Margaret tertuju kepada seorang bocah yang kerap dikucilkan karena dianggap sering membuat masalah dan kerap dikurung di sebuah tempat bernama bad room, Carlita (Nicole Sorace) namanya.

Tak butuh waktu lama untuk Margaret mengendus ketidakberesan, apalagi semenjak kehadiran Pastor Brennan (Ralph Ineson) yang kerap mengingatkan bahwa terdapat konspirasi gereja yang tak sesuai dengan ajaran agama. Sebuah konspirasi radikal yang amat menentang sekularisme di tengah gencatan demonstrasi yang sedang terjadi.

Dari sana, The First Omen bersedia memberikan narasi, yang meski tersirat memudahkan penonton untuk senantiasa mengecam perbuatan yang mengatasnamakan agama dengan menebar ketakutan supaya manusia kembali ke gereja, salah satunya dengan menciptakan antikristus yang diharapakan dapat memberikan sebuah pencerahan alih-alih sebuah dalih lembut menolak adanya kemajuan.

Stevenson secara lembut menggulirkan narasi tersebut lewat paranoia yang dibentuk secara perlahan-namun tepat sasaran. Kentara sekali, pengadegannya banyak terinspirasi oleh horor Eropa, sebutlah Possession (1981) milik Andrzej Zulawski dalam salah satu adegan paling mengerikan yang disokong kapasitas Neel Tiger Free dalam memainkan olah peran yang sangat brilian. Pun, tidak ketinggalan penghormatan bagi salah satu adegan yang dimiliki film orsinal ditampilkan kembali dalam bentuk yang serupa tapi tak sama.

Horor dalam The First Omen juga berasal dari ketidaknyamanan yang tersaji berkat permainan apik di berbagi lini. Entah itu scoring (paling lekat diingatan adalah keberhasilan Mark Korven menggarap ulang Ave Satani gubahan Jerry Goldsmith) maupun tata kamera ciamik dengan nuansa klasik. Apalagi ketika Stevenson turut menyentuh ranah body horror yang bukan sebatas eksploitasi-melainkan memenuhi kebutuhan narasi. 

Seperti yang telah disinggung di awal, meskipun berstatus sebagai prekuel, The First Omen memberikan sebuah masa depan cerah bagi waralaba baru tanpa harus melukai kesakralan film pertamanya. Stevenson bersama kedua penulisnya amat berhati-hati dalam merajut kisah selanjutnya andaikan itu terealisasi, saya tak segan untuk menanti dan kemudian menyaksikannya kembali.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar