Saya selalu memberikan kesempatan terhadap film yang memberikan sebuah suara untuk diteriakkan, termasuk Rumah Untuk Alie yang membawa isu perihal perundungan. Isu yang masih (dan akan selalu) relevan ini memang layak untuk diperhatikan, terlebih lewat medium film yang seolah menjadi wadah sempurna disamping fungsinya sebagai sarana hiburan. Namun, ketimbang melakukan sebuah teriakkan lantang, filmnya tersaji begitu kering kerontang.
Mengadaptasi novel populer buatan Lenn Liu, Rumah Untuk Alie tampil begitu eksploitatif alih-alih efektif. Saya memang belum membaca sumber aslinya, namun cerita yang sarat akan potensi ini tak memberikan sebuah dampak signifikan selain sebuah kompilasi deretan penderitaan yang tak berkesudahan. Repetisi atas aksi seperti ini memenuhi keseluruhan 95 menit durasi.
Ditulis naskahnya oleh Lottati Mulyani (Eyang Ti, Kopi Pahit), Rumah Untuk Alie urung memberikan ruang untuk berdiskusi terhadap apa yang dialami dan dirasakan oleh karakter utamanya, Alie (Anantya Kirana) yang semenjak kecelakaan merenggut nyawa ibunya, Gianla (Tika Bravani) berujung mengalami perundungan yang tak berkesudahan dari keluarga. Abimanyu (Rizky Hanggono), ayahnya menganggap ia sumber masalah, Dipta (Dito Darmawan), kakak tertuanya, menyalahkan Alie karena telah merusak masa depannya, begitupun dengan Samuel (Andryan Bima) dan Rendra (Faris Fadjar Munggaran) yang turut membenci kehadirannya. Hanya Natta (Rafly Altama Putra) yang masih memberikan sekedar sapaan dan senyum simpul terhadapnya.
Deretan karakter yang membenci Alie tampil sebatas dipermukaan, nihil kedalaman. Berulang kali naskahnya melontarkan dialog umpatan yang sama terhadap Alie. Bahkan kata "pembawa sial" pun diucapkan selama tiga kali oleh Abimanyu. Dangkalnya narasi yang tak memberikan sebuah ruang untuk sekedar memahami membuat saya enggan peduli terhadap apa yang terjadi.
Usaha memberikan sebuah pemahaman dan pengertian akan definisi serta suara hati Alie sempat disinggung dalam sebuah PR sekolah bahasa Inggris yang membedakan makna "house" dan "home" yang mana keputusan seperti ini setidaknya dapat memberikan dampak yang berarti. Sayang, filmnya hanya sebatas menampilkan dan mengandalkan respon pasif (dan berulang) terhadap Alie yang melamun panjang meratapi nasib buruk yang seolah datang silih berganti. Respon sederhana seperti ini pun turut direpetisi atas dasar eksplorasi yang justru berujung eksploitasi.
Seolah belum cukup, Alie pun mengalami perundungan yang sama di sekolah dengan alasan yang terlalu sinetron-ish untuk ukuran film layar lebar. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kal. Alasan si perundung melakukan siksaan fisik dan verbal hanya berkutat soal kecemburuan, sementara di bangku penonton, saya hanya bisa pasrah dan menyerah dengan filmnya yang seolah hilang arah.
Pengadeganan sutradara Herwin Novianto (Kembang Api, Kang Mak from Pee Mak, 2nd Miracle in Cell No.7) pun tak seberapa membantu. Ia sebatas menerjemahkan adegan sebagaimana mestinya, tanpa keinginan untuk memberikan sebuah nyawa bagai filmnya. Semakin parah tatakala narasinya tampil jumpy sekaligus draggy menjelang paruh kedua, Rumah Untuk Alie dibuat tanpa memperhatikan aturan perasaan, melainkan hanya sebatas menyulut air mata sebanyak-banyaknya.
Itulah mengapa paruh ketiganya tak terarah. Rumah Untuk Alie hanya sebatas mencari konflik demi konflik yang hanya menampilkan derita dan air mata. Overly dramatic. Beruntung, filmnya mempunyai Anantya Kirana yang tampil bertenaga di tengah lemahnya naskah yang membuang potensi kuat miliknya. Setidaknya, ia adalah alasan mengapa saya bertahan hingga akhir.
Dramatisasi berlebih seolah belum lengkap dengan tata suara yang memekakkan telinga, pun filmnya terlalu mengandalkan deretan soundtrack yang sudah melekat lama di ingatan, pemakaian lagu Berhenti Berharap milik Sheila on 7 yang dinyanyikan versi ulang oleh Aqeela Callista hingga Putar Waktu-nya Mahalini memang membawa kesan tersendiri bagi filmnya, meski tak lantas menyelamatkan keseluruhan filmnya.
Dalam sebuah adegan di bangku sekolah pasca sebuah kejadian yang mengguncang, Alie duduk termangu, sementara sahabatnya, Selena (Sabrina Nazwa) memkasa Alie untuk bercerita terhadap apa yang terjadi. Alie tak menjawab, melainakan meminta izin kepada Selena untuk bisa memeluknya. Momen seperti ini sejatinya yang dibutuhkan oleh Rumah Untuk Alie, sebuah pelukan hangat yang menciptakan rasa lega ketimbang kompilasi eksploitasi deretan derita tiada tara.
SCORE : 2/5
0 Komentar