Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI

 

Pengepungan di Bukit Duri dibuka oleh sekuen lagu Guruku Tersayang yang menemani aktivitas murid di halaman sekolah sebelum bel berbunyi. Sebuah lagu yang menyimpan semangat dan rasa hangat tersebut kemudian digantikan oleh situasi sarat kekacauan yang mencekam, pembelajaran dihentikan, sementara para murid berjibaku melawan kerusuhan.

Berlangsung pada tahun 2007, Joko Anwar selaku penulis sekaligus sutradara menampilkan sebuah kekacauan masif, di mana mereka yang memiliki darah Tionghoa menjadi korban persekusi bahkan kehilangan harga diri. Itulah yang terjadi sekaligus menimpa kepada Silvi (Sheila Kusnadi), kakak Edwin (Millo Taslim).

Selang 20 tahun pasca kejadian tersebut (alias pada tahun 2027), Edwin (Morgan Oey) memutuskan untuk menjadi guru pengganti bagi SMA Duri yang berada di Timur. Keputusan Edwin pun ditengarai sebuah misi untuk mencari keponakannya, sebagaimana wasiat yang diucapkan oleh Silvi (Lia Lukman).

Penemuan Edwin menemukan titik terang pasca ia bertemu dengan Kristo (Endy Arfian), salah satu murid yang memiliki bakat seni sebagaimana dimiliki garis keturunan keluarganya. Namun, misi yang belum terealisasi ini menemui batu sandungan kala Edwin harus berurusan dengan Jefri (Omara Esteghlal) beserta komplotan gengnya yang menyimpan dendam pribadi serta etnis Cina secara keseluruhan.

Sebagaimana karya Joko Anwar sebelumnya, Pengepungan di Bukit Duri bukan sebatas hadir tanpa arti, ia membawa pesan terselubung yang ingin disuarakan tanpa benar-benar menyuapi para penontonnya (secara tersirat filmnya menampilkan reka ulang kejadian tahun 1998). Inilah yang membuat deretan karakternya bukan hanya sebatas kumpulan daging tanpa tulang.

Beberapa pengadeganan tampil begitu natural, di samping tak hentinya Joko Anwar melempar pertanyaan yang kemudian dibarengi dengan sebuah kritikan. Dampak simultan yang terjadi adalah gambaran dari bobroknya sistem pendidikan (juga ketiadaan pengertian) yang disalurkan mengakar kuat menjadi sebuah trauma kolektif yang tampil secara persuasif.

Latarnya mewakili gambaran bagaimana sebuah negara sangat rentan akan normalisasi kekerasan, sebuah near-dystopia yang efektif sekaligus memantik. Tentu ini tak lepas dari kepiawaian para pekerja artistik yang mampu menggambarkan nuansa yang kelam sekaligus suram. Deretan poster berisi ujaran kebencian (diwakili dengan gambar babi yang disilang) serta ajakan untuk memberhentikan tindakan demikian tampil beriringan. Sebuah kontradiksi persuasi yang nihil akan aksi.

Sebagaimana yang judulnya terapkan, nantinya Edwin akan terjebak bersama Kristo dan juga sahabatnya, Rangga (Fatih Unru) beserta Diana (Hana Pitrashata Malasan), satu-satunya guru perempuan sekaligus konselor di Bukit Duri dalam sebuah pengepungan yang dilakukan oleh Jefri bersama komplotan gengnya. Momen ini mungkin sebuah kerusuhan sederhana jika dilihat dalam kacamata yang lain, sementara diluar sekolah, kerusuhan yang sebenarnya terjadi kembali.

Pengepungan di Bukit Duri kemudian menampilkan ekskalasi dalam situasi "wrong man in wrong place" dimainkan secara berkala, Joko membangun secara pelan semua ketegangan yang kemudian menghasilkan sebuah dampak yang signifikan. Kekerasan terus ditekan dalam upaya menciptakan sebuah hiburan sekaligus perwakilan manifestasi amarah yang kian membuncah.

Dibantu scoring hasil garapan Aghi Narrotama dalam perpaduan nomor trek yang tak kalah bertenaga, di samping bidikan kamera hasil Jaisal Tanjung yang bergerak secara liar, menangkap segala sudut adegan sehingga menghasilkan sebuah gambar yang mampu menyulut kengerian yang berkulminasi dengan estetika tingkat tinggi.

Deretan pemain yang diisi para pelakon muda penuh talenta tampil maksimal, pujian lebih patut disematkan kepada Morgan Oey dan Omara Esteghlal yang tampol dalam performa terbaiknya. Sisi idealis seorang Edwin mampu ditransfer secara baik oleh Morgan tanpa melupakan trauma dan luka batin yang terus menganga, sementara Jefri dengan tampilan luar beringas ternyata menyimpan sebuah kehampaan, entah itu ketiadaan komunikasi, maupun wujud dari pengaruh negatif yang mengakar. Omara berhasil menyampaikan detail tersebut secara tepat.

Bukan tanpa kekurangan, Pengepungan di Bukit Duri sempat tampil draggy ketika masing-masing karakternya melakukan aksi kucing-tikus yang kentara stagnan, meskipun setelahnya, Joko Anwar bak membayar secara lunas segala cacat tadi, menggantikannya dengan sebuah adegan sarat intensitas berskala tinggi, utamanya dalam menampilkan deretan aksi demi aksi liar yang terstruktur secara alami.

Pengepungan di Bukit Duri mungkin merupakan karya straight-forward Joko Anwar. Persentasinya amat begitu mudah dicerna tanpa harus kehilangan ciri khasnya. Beberapa detail menyuarakan sekaligus menjadi simbol yang tepat dan akurat. Misalnya terkait pensil, sebuah alat yang bisa menciptakan sebuah seni berujung diabaikan dan disalahgunakan adalah bukti sederhana sebuah bangsa yang sedang tidak baik-baik saja.

Ketika hal tersebut terus lestari akan menciptakan tragedi yang kian terulang kembali. Pengepungan di Bukit Duri memang tidak memberikan sebuah jawaban yang pasti, meski di saat bersamaan Joko Anwar masih menaruh harapan bahwa dibalik seram dan muramnya dunia, secercah cahaya akan tetap selalu ada.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar