Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - DIWE: HUTAN LARANGAN (2024)

 

Dalam menyaksikan sebuah film, saya dengan senang hati memberikan kesempatan kepada semua film tanpa menilik apa, siapa, atau bahkan berasal dari mana film tersebut. Hal tersebut saya terapakan demi merasakan sebuah pengalaman atau bahkan sudut pandang bercerita para pembuatnya. Hingga hadirlah Diwe: Hutan Larangan yang merupakan film hasil karya anak daerah Bangka Belitung yang sebelumnya sempat melahirkan Buyut (2022).

Sama halnya dengan nama yang terakhir disebut, mitos Diwe yang merupakan nama penunggu hutan larangan yang berada di Bangka Selatan dieksplorasi oleh penulis sekaligus sutradara, Bram Ferino (Buyut, Tari Kematian) lewat sebuah template sederhana khas film horor arus utama dengan mengikuti sekelompok anak muda yang hendak melangsungkan liburan.

Semuanya berawal dari ajakan Intan (Trisna Anggriani) yang mengajak keempat sahabatnya: Rendi (Andika Nugraha), Olivia (Dyva Syaputri), Jeffri (Arya Al Faiz) dan Denis (Juni Irsandi) untuk berlibur ke tempat sang bibi dengan tujuan berkunjung ke pantai dekat rumah. Sebagaimana pola film horor klasik, tentu wacana tersebut akan berubah seiring berjalannya durasi yang sebatas diisi tingkah bodoh para tokohnya yang menggundang petaka.

Tanpa mengurasi rasa hormat, Diwe: Hutan Larangan memang tak dibekali budget tinggi layaknya film dengan rumah produksi besar pada umumnya, itulah mengapa pengadegannya hanya sebatas menangkap gambar tanpa berusaha memikirkan estetika lainnya yang urung ditampilkan pembuatnya tanpa pernah mencoba mengakali atau memutar otak supaya film tersebut terlihat lebih mumpuni, setidaknya dari segi naskah yang seolah memenuhi check list film horor klasik pada umumnya.

Hal yang patut diapresiasi mungkin tatakala kehadiran Diwe untuk pertama kali menyerang para korban yang digarap begitu mumpuni tanpa pernah berambisi menampilkan sosok asli. Setelahnya, Bram Ferino seolah tak percaya diri dalam bermain misteri, dan dengan berani mengeksploitasi wajah sang dedemit serutin mungkin. Haslinya jelas menjemukan dan nihil eksplorasi.

Naskahnya sebatas menjadikan karakter sebagai calon korban sekaligus daging tak bernyawa ketika hidup. Masing-masing tokohnya sebatas stereotype horor usang yang sudah lama ditinggalkan. Diwe: Hutan Larangan bak terjebak pada pola horor tahun 80-an yang menolak memberikan modifikasi sekaligus memberikan urgensi pada cerita.

Pun, tatakala memberikan sedikit perubahan, Bram Ferino melakukan aksi salah kaprah dengan menambahkan twist (yang juga sudah klasik) tanpa mengkaji maupun memperhatikan struktur cerita pula pemakainnya yang serba tiba-tiba. Durasi 67 menit pun yang terlampau sederhana dan berpotensi tampil padat malah mengundang rasa bosan yang sukar untuk ditolak.

SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar