Judulnya merujuk pada sebuah hadis yang mengatakan bahwa terbit dan tenggelamnya matahari membentuk sebuah tanduk setan yang hingga kini para ulama pun masih memperdebatkan terkait pemaknaan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tersebut. Interpretasi seperti itu pun dilakukan oleh kedua sutradaranya yang masing-masing menggarap dua segmen yang berbeda dalam bungkus antologi yang mewakili Kelahiran (disutradarai oleh Amriy R. Suwardi) dan Kematian (disutradarai oleh Bobby Prasetyo) yang mengetengahkan dua dosa berbeda yang kerap dilakukan oleh seorang makhluk bernama manusia.
Kelahiran menyoroti upaya Sumirah (Nur Mayati) yang hendak melahirkan setelah dua hari tak kunjung selesai, sementara sang suami, Jaya (Boy Muhammad) yang sulit diandalkan kala menunggu persalinan sang buah hati. Pengadeganan Amriy bergerak begitu pelan seolah menjauh dari pakem horor belakangan yang meluangkan waktu untuk bercerita lewat obrolan kasual para pemerannya. Dari hasil itulah penonton mengetahui informasi yang nantinya membentuk pola narasi yang seolah menekankan ketidakbecusan Jaya dalam berumah tangga.
Ketika dua temannya mengunjungi dan menanyakan terkait prosesi kelahiran sang jabang bayi, seolah sulit untuk bersimpati kepada Jaya yang rela menghabiskan malam hanya untuk bermain gim. Pun, demikian dalam menangani nafkah sang istri, ia memilih bekerja serabutan di saat temannya menyarankan untuk melamar pekerjaan, apalagi ia dihadapkan pada tugas yang lebih besar termasuk mempersiapkan akikah untuk sang anak. Respon Jaya begitu pesimis, ia merasa kurang percaya diri akan diterima di perusahaan dengan alasan postur badannya yang tak ideal.
Berlangsung selama 55 menit, Kelahiran memang memberikan ruang lebih untuk bercerita sebagaimana ia terapkan di babak pertama, namun memasuki babak kedua hingga menjelang konklusi yang menampilkan upaya Jaya mengantar sang istri mencari rumah sakit di daerah perkotaan, temponya tampil draggy akibat terlalu larut berkutat pada hal yang bisa dipadatkan. Meski di lain kesempatan, Amriy menggantikan jumpscare dengan mengandalkan suara maupun penampakan yang terdistorsi (seolah ingin menampilkan pandangan manusia tatkala melihat hantu di dunia nyata) patut untuk diapresiasi.
Hal itu berbanding terbalik dengan Kematian yang hanya berdurasi 20 menit yang tampil padat (meski keputusan terkait jomplangnya durasi masih dipertanyakan) berkat kepiawaian Bobby Prasetyo dalam mengarahkan cerita perihal menyambut ajal terlihat lebih mengerikan akibat penanaman susuk yang dikenakan semasa muda. Kondisi ini membuat Nur (Taskya Namya) kebingungan menyikapi kondisi sang ibu, sementara ayahnya (Rukman Rosadi) hanya duduk santai sambil mengisap rokok tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Tanduk Setan seolah ingin mengkritisi dinamika gender yang sayangnya tak pernah jelas ia utarakan.
Sebagai satu kesatuan utuh, Tanduk Setan memang tak sepenuhnya tampil memuaskan sebagaimana kerap terjadi dalam film yang menampilkan antologi, selalu ada kekurangan dan kelebihan dalam setiap segmen yang rasanya sulit untuk berimbang. Meskipun demikian, Tanduk Setan layak diberikan kesempatan karena ia menjauh dari pola horor arus utama yang kerap mengandalkan penampakan sebagai jualan, film ini justru sebaliknya, ketakutan berasal dari hal-hal yang tak nampak dan sadar atau tidak kerap kita lakukan di kehidupan sehari-sehari, yakni perihal dosa dan karma yang harus kita terima pasca melakukan sebuah perbuatan.
SCORE : 3/5
0 Komentar