Saya bukan golongan yang menganggap remeh sebuah remake. Persetan dengan anggapan bahwa filmnya sebatas mengulang dan nihil sebuah pembaharuan, remake yang bagus adalah remake yang mampu membawa ruh atau semangat asli filmnya. Dan selaku pembuatan ulang film asal Belgia berjudul asli Hasta La Vista (versi internasionalnya berjudul Come as You Are) dua belas tahun lalu, Why Do You Love Me yang judulnya diambil dari lagu milik Koes Plus berhasil melakukan manifestasi dari kalimat diatas.
Digawangi oleh Herwin Novianto yang menandai kerja samanya lagi dengan Alim Sudio (selaku penulis naskah) selepas Kembang Api beberapa bulan yang lalu, Why Do You Love Me mengetengahkan kisah tiga pria dengan kesamaan dan keinginan yang sama. 1) Mereka adalah penyandang disabilitas dan 2) Mereka tak ingin mati sia-sia dalam keadaan masih perjaka. Guna menangkal hal tersebut, Baskara (Adipati Dolken), yang mengharuskannya memakai kursi roda selepas kelumpuhan saraf menimpanya, mengajak kedua sahabatnya, Danton (Jefri Nichol), pengidap tumor otak yang melumpuhkan bagian bawah tubuhnya bersama Miko (Onadio Leonardo) yang mengidap retinitis pigmentosa alias buta total.
Ketiganya melakukan perjalanan keliling pulau Jawa dengan Surabaya (tepatnya Gang Dolly) sebagai tujuan akhir. Konon, di Gang Dolly lah hasrat birahi terpendem mereka akan tersalurkan, mengingat tempatnya berstatus sebagai pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Bersama Endang (TJ Ruth) selaku sopir sekaligus perawat, perjalanan mencari makna kehidupan (dan kebebasan) pun dilakukan-yang rupanya tak segampang membalikkan telapak tangan.
Tentu, rintangan dan lika-liku selama perjalanan senantiasa mengikuti. Entah itu berupa sikap Baskara yang selalu berburuk sangka terhadap Endang atau Danton yang penyakitnya selalu kambuh selama perjalanan. Why Do You Love Me memberikan sebuah pembenaran terkait pengadeganan yang seharusnya diterapkan oleh film bertemakan disease porn, tatkala penyakit karakternya bukan dijadikan sebagai bentuk dramatisasi berlebih, melainkan reaksi murni tatkala melihat kondisinya tanpa harus dibiarkan mengemis.
Terpenting, barisan karakternya-ditengah kondisi fisik yang tak memungkinkan, tak digambarkan sebagai sosok yang menuntut belas kasihan, melainkan penuh semangat dan harapan, pula memandang sebuah kematian sebagai kepastian. Dari sini, perjalanannya pun semakin menyenangkan, selain sebagai wadah bagi filmnya menciptakan sebuah makna dalam kapsul waktu bernama kenangan.
Sebagai road trip movie, Why Do You Love Me pun berjasa dengan tak sepenuhnya mengandalkan pemandangan sebagai jualan-melainkan waktu atau kesempatan bagi karakternya tumbuh dan berproses. Adipati Dolken turut andil dalam prosesnya menghidupkan karakter Baskara yang mengalami degradasi emosi (dan perasaan) seiring bertambahnya durasi dan perjalanan. Sementara, Jefri Nichol dengan olah rasa miliknya, mampu melumpuhkan hati dan perasaan berkat pemaparan dialog sederhana yang dibawakannya, menyusul kemudian adalah TJ Ruth yang ditengah tugasnya sebagai comic-relief menyimpan kehangatan dan kepedulian yang lebih besar dalam tampilan luar yang terlihat serampangan. Onadio Leonardo mungkin bukan karakter yang terlalu menonjol karenan tak dibebani bobot emosi yang lebih selain melihatnya nyaman terlihat di layar.
Herwin Novianto bersama Alim Sudio memastikan bahwa Why Do You Love Me yang sekilas mengedepankan unsur seksual sebagai jualan, rupanya melipatgandakan rasa lewat cerita para karakternya. Memang, seks adalah tujuan sebenarnya, namun ada yang lebih berharga dari pengalaman tersebut yang merupakan inti keseluruhan film ini.
Itulah mengapa konklusinya lebih mudah mengena karena rasa dibiarkan berbicara. Ditemani iringan lagu Sampai Jumpa milik Endank Soekamti, Why Do You Love Me adalah kejutan terbesar tahun ini. Sebuah remake yang tak hanya sebatas menampilkan ulang, namun memberikan sebuah perjalanan hakiki mengenai makna sejati sebuah kehidupan yang akan lebih indah jika dipenuhi dengan kenangan. Tepatnya kenangan bersama orang tersayang.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar