Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - THE EMPTY MAN (2020)

Diluar kurangnya publisitas dan promosi, The Empty Man yang menyadur novel grafis rilisan Boom! Studio adalah horor yang cukup surealis sedari durasi awal tampil yang memperlihatkan kita pada sekelompok pendaki yang tengah melewati Lembah Ura, Bhutan dengan setting tahun 1995. Pembuka ini diniatkan sebagai latar belakang misteri yang cukup membuat bulu roma meremang. Terlebih kala salah satu pendaki bernama Paul (Aaron Poole) yang pasca jatuh di sebuah celah tampak duduk bersila, menangis dan hampir katatonik. If you touch me, you'll die. Demikian ucap Paul kepada Greg (Evan Jonigkeit), sang kerabat yang hendak membantunya.


Harus saya akui prolog yang memakan waktu 22 menit adalah salah satu persentasi terbaik yang dimiliki The Empty Man. Memang terlewat panjang, namun memberikan sebuah sentuhan mistisme dan sarat akan unsur supernatural. Kemudian cerita beralih pada tahun 2018, tepatnya di Missouri, di mana seorang mantan detektif bernama James Lasombra (James Badge Dale) tengah melakukan aktivitas lari pagi, menjaga sebuah toko dan berakhir kala ia mendapatkan sebuah kejutan ulang tahun di sebuah restauran langganannya. Sekilas, kita dapat melihat bahwa James adalah pria hampir paruh baya yang begitu kesepian pasca ditinggalkan oleh sang istri dan anaknya dalam sebuah kecelakaan mobil.


Dalam kemelutnya, James dimintai sang tetangga Nora Quail (Marin Irlandia) untuk menyelidiki hilangnya sang putri, Amanda Quail (Sasha Frolova) yang sempat mendatangi James di sebuah taman. Tulisan darah "The Empty Man Made Me Do It" tertera di kaca kamar mandi yang lantas membawa James menemui Davara Walsh (Samantha Logan), satu-satunya teman sekelas Amanda yang dapat ditemui. Dalam penuturannya, Davara menyebutkan bahwa ia bersama Amanda dan teman sekelas lainnya melakukan sebuah ritual pemanggilan dengan meniup botol sebanyak empat kali di sebuah jembatan untuk memanggil The Empty Man.


Entitas The Empty Man tak ubahnya seperti urband legend kebanyakan yang terlebih dahulu difilmkan, sebuatlah Candyman (1992, versi terbarunya hadir di tahun ini), The Bye Bye Man (2017) hingga Slender Man (2018). Konon, malam pertama pasca pemanggilan akan mendengar suaranya, malam kedua pemanggilan akan melihat wujud aslinya dan malam ketiga pemanggilan dia akan menemukannya.  Seperti kebanyakan film serupa, James menganggap hal tersebut konyol dan ia pun melakukan ritual pemanggilan atas dasar rasa penasaran.


Ditulis dan disutradarai oleh David Prior (Summer of the Shark, AM1200), The Empty Man mengambil jalur berbeda di mana proses investigsi James dikedepankan alih-alih menampilkan sosok sang entitas sebagaimana dilakukan rekan sejawatnya. Ini sendiri tampil cukup mumpuni kala Prior turut melibatkan penonton masuk akan rasa penasaran dan keingintahuan yang besar, pun tatkala satu-persatu tabir terungkap, hasilnya dibayar lunas oleh keadaan diluar dugaan, sebutlah momen bunuh diri masal para remaja di sebuah jembatan.


Penelusuran yang dilakukan James tampil cukup jauh, hingga merengkuh sebuah sekte pemuja The Empty Man bernama Pontifex Institute yang keberadaanya begitu luas, dari sini beberapa adegan semestinya bisa dipangkas lebih cepat di mana kecenderungan Prior adalah menampilkan apa yang harusnya ditampilkan seharusnya bisa dipadatkan jika hanya menciptakan sebuah proses tarik-ulur yang cenderung menjemukan.


Meskipun demikian, The Empty Man memiliki satu lagi adegan berkesan tatkala James menguntit sebuah ritual sekte di pertengahan hutan dalam kegelapan serta api yang dinyalakan. Dari sini kecerdikan sinematografi hasil bidikan Anastos N. Michos berjasa menampilkan sebuah momen yang sukar dilupakan, sementara scoring dari Christopher Young melengkapinya dengan suara yang khas. Sayang, momen seperti ini tampil minim-di tengah ambisi Prior menampilkan cosmic horror.


The Empty Man sejatinya bukanlah horror yang buruk, melainkan horror yang terlalu tampil larut yang membentangkan durasi sebanyak 137 menit yang terhitung cukup panjang. Babak akhirnya memang tampil cukup ambigu dengan sentuhan twist yang meski tampil rapi-bukanlah sebuah hal yang baru dalam khasanah genre ini. Setidaknya film terakhir 20th Century Fox sebelum diakuisisi oleh Walt Disney menjadi 20th Century Studios ini memiliki adegan yang cukup membekas meski efektifitasnya takan berjalan lama. 
 
 
SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar