Mari kita sambut horror fenomenal buatan karya anak bangsa yang berjudul Kain Kafan Hitam, sungguh berjasa apa yang dilakukan oleh saudara Maxime Bouttier yang untuk pertam kalinya melakoni debut di belakang layar sebagai seorang sutradara (bersama Yudhistira Bayuadji) dalam melatih kesabaran penonton supaya tetap rendah hati kala mendapati suguhan film paling lambat ini. Bagaimana tidak? Lewat Kain Kafan Hitam kita pun mendapat bonus tur keliling rumah layaknya yang dilakukan oleh para selebgram kebanggan tanah air, atau tatkala kita mengamati bagaimana cara memakaikan celana yang baik dan benar ketika adik kita masih mengompol di celana. Sungguh berfaedah bukan?
Sejenak kita kesampingkan dahulu manfaat lain dari film ini. Kain Kafan Hitam mengetengahkan proses Evelyn (Haico Van Der Veken) mencari sebuah tempat tinggal ditengah keadaan ekonominya yang begitu menipis. Tak memungkinkan memang jikalau mengontrak rumah di pusat kota, maka ia dan sang kekasih, Bimo (Maxime Bouttier) memutuskan untuk menyewa sebuah villa di pinggiran kota yang luasanya sebesar istana dengan harga yang begitu terjangkau. Eittts....tunggu sebentar, ya, saya tak salah menyebut, memang villa yang disewa lengkap dengan peralatan dan lukisan sebesar gaban, meski minus kamar mandi di dalam karena belum di renovasi, tenang masih ada kamar mandi di luar yang mengharuskan Evelyn masuk ke sebuah lorong panjang dengan hanya berbekal closet saja (correct me if i am wrong).
Sang penjaga rumah bernama Egi (Egi Fedly dalam peran sebagai tour guide menyusuri masing-masing ruangan dan memperkenalakannya satu persatu) yang tinggal di bawah dan sekilas tampak tak bersahabat yang penokohannya sebatas dijadikan tempelan saja oleh Girry Pratama (Revan & Reina) selaku penulis naskah yang saya yakin menulisnya sembari tidur. Bisa ditebak, selanjutnya kita mengikuti Evelyn dan para pemain lainnya dihantui penghuni rumah tersebut.
Sebelum Evelyn, kedua adiknya Arya (Rayhan Cornellis) dan Maya (Jessica Lucyana Taroreh) mengalami gangguan di tempat tidur dengan hantu berwajah penyok dan berpakaian serba hitam yang jelas terlihat sekali artificial (dengan sentuhan CGI memalukan) dan senyap akan dentuman musik layaknya kebanyakan jumpscare. Kain Kafan Hitam memiliki kasus yang terbalik, tatkala hantu ditampilkan musik begitu senyap, sebaliknya, tatkala menyoroti interior rumah, musik gubahan Joseph S. Djafar (Jailangkung, Jaga Pocong, Orang Kaya Baru) tampil menggelegar. Entah ini disengaja atau bukan, saya yakin ini adalah bentuk kelalaian sang pembuat.
Teror hantunya jauh dari kata seram maupun mencekam. Masing-masing karakter diteror satu-persatu yang afeksinya perlu dipertanyakan. Kain Kafan Hitam tampil terlalu terburu-buru pada paruh kedua setelah sejam pertama menghasilkan sebuah kekosongan. Pun, tatkala sebuah kilas balik ditampilkan yang ada hanyalah sebuah kekonyolan pula penyuntingan gambar yang jelas terlihat inkoheren.
Twist-nya sendiri begitu diluar nalar dan logika. Pun, jika anda cermat dalam melihat barisn gorden yang berwarana beda, disitu pun sudah dapat ditarik kesimpulan. Dengan ini saya nyatakan bahwa hantu yang meneror Evelyn dan adik serta temannya meminta ganti rugi bahwasannya kain kafan yang harusnya dgunakan malah digantikan dengan gorden berwarana hitam. Tak cukup sampai di sini, credit tittle-nya pun seakan memberikan tease yang tak berkesudahan, menandai bahwa tuntutan hantunya belum terselesaikan, sementara saya sudah menyerah dengan kenyataan filmnya yang begitu menghantui pikiran (in a bad way).
SCORE : 0.5/5
0 Komentar