Siccîn
sama halnya dengan Conjuring Universe dimana ceritanya tersusun atas
kejadian yang menimpa para korban. Konon, ceritanya sendiri terilhami
dari kejadian nyata. Tentunya sama seperti kebanyakan film horor tahun
80-an dimana Hoca (sebutan untuk orang pintar) memegang peran penting.
Sehingga mudah di tebak, polanya sendiri dimana sang korban mulai
merasakan gangguan aneh, sang Hoca adalah kunci utama terselesaikannya masalah.
Yang mengalami gangguan aneh disini adalah Nisa (Pinar Caglar
Genctürk) yang seringkali merasa dirinya diganggu makhluk ghaib,
merasakan kejadian yang tak terlihat oleh orang lain, terlebih mengenai
sosok bayi yang sering ia lihat. Kebiasaannya tentu dianggap aneh oleh
sang suami, Kudret (Koray Sahinbas) bahkan sang suami menganggapnya
gila. Lama semakin lama keanehan pada diri Nisa terus memuncak, sang
suami pun membawa dirinya kepada seorang Hoca, guna untuk mengetahui apa
yang terjadi pada diri Nisa. Apakah semua ini ada sangkut pautnya
dengan sebuah ilmu hitam berupa santet?
Seperti yang kita
duga, Nisa ternyata terkena santet usus babi, dimana orang yang dikirim
santet tersebut beserta keluarga dan turunannya akan mati mengenaskan
kurang lebih dalam lima hari. Tentu, fokus utama cerita akan menyoroti
kejadian lima hari tersebut, dimana serangkaian peristiwa mengerikan
datang silih berganti, meninggalkan sebuah kesan repetitif dalam alurnya
yang episodik. Meskipun demikian, sutradra Alper Mestçi memang piawai
menghadirkan sebuah teror creepy nan menjijikan. Tak terhitung setiap
kali kamera menyoroti modus operandi yang dilakukan oleh Öznur (Ebru
Kaymakci) sang pengirim santet, momen menjijikan sekaligus melibatkan
banyak darah tampil dengan begitu eksplisit.
Siccîn seperti
yang telah saya singgung terjebak penyakit yang sering menimpa sebuah
film horor, dimana kemunculan sang hantu maupun dampak dari santet usus
babi tiap kali menimpa Nisa musik serampangan masuk, memecahkan gendang
telinga. Sesekali scoring gubahan Ali Otyam memang begitu tepat guna,
namun karena keseringan tiap kali musik serampangan masuk, menimbulkan
kesan anoyying kala menontonnya. Pun dengan kehadiran twist yang sedari
awal pun sudah tertebak, sehingga urung untuk menimbulkan daya kejut
pasca menontonnya.
Ada peluang untuk menggarap filmnya masuk
ke ranah psikologis, namun urung untuk dilakukan oleh Alper Mestçi yang
lebih mengutamakan sisi lain dari filmnya agar terkesan begitu
menyeramakan, sebut saja kehadiran sang nenek yang sudah sakit parah,
riasan tata wajahnya begitu mengerikan, terlebih setelah kejadian yang
melibatkan air panas, atau sosok anak Nisa yang tuna netra, Ceyda (Merve
Ates).
Memasuki klimaks, semua penyebab terkuak. Momen yang
ditunggu ini menghadirkan sebuah twist yang terkesan usang. Nihil daya
kejut, kala kamera menyoroti Nisa yang tengah di ruqyah oleh seorang
Hoca. Pinar Caglar Genctürk piawai bermain ekspresi, ekspresinya begitu
meyakinkan, membuat ketakutan yang ia alami seolah nyata di tengah
tipisnya naskah film. Sang aktris leluasa berlakon, membangun
karakternya begitu meyakinkan, meskipun elaborasi terkait eksekusinya
sebatas mengulang dan mengulang kejadian yang sama.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar