Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - SELEPAS TAHLIL

 

Selepas Tahlil sejatinya bukanlah horor yang dibuat asal-asalan. Para pembuatnya berjibaku mengerahkan sekuat tenaga guna meluangkan waktu untuk bercerita dalam upaya menampilkan perasaan duka karakternya selepas ditinggal orang tercinta. Sebuah momen yang sangat dekat dengan realita ini sayangnya tak didukung oleh penceritaan yang mumpuni. Singkatnya, Selepas Tahlil terlampau generik di saat horor arus utama perlahan mulai menampilkan tajinya.

Semuanya bermula ketika kematian tak terduga yang menimpa Hadi (Epy Kusnandar) pasca kepulangan Saras (Aghniny Haque) dan adiknya, Yudhis (Bastian Steel) di tempat cuci mobil keluarga miliknya. Selain menimbulkan duka, kematian Hadi pun mengundang sebuah tanya tatkala prosesi pemakaman hendak dilakukan selalu berujung pada sebuah kegagalan. Apa yang terjadi pada jenazah Hadi sebenarnya?

Pertanyaan tersebut tak lantas dijawab secara cepat oleh filmnya, namun tanpa menunggu konklusi pun, penonton sudah dapat menebak alasan sang jenazah yang katanya harus dimakamkan pada malam Jumat Kliwon supaya berjalan lancar sebagaimana mestinya. Sayang, naskah yang ditulis oleh Husein M. Atmodjo (Mencuri Raden Saleh, Pengantin Setan, Susuk: Kutukan Kecantikan) gagal menarik atensi akibat ketiadaan urgensi.

Hal tersebut sejatinya sudah tercium di paruh pertama filmnya yang urung menberikan sebuah sekuen yang mengikat, hanya menampilkan keseharian karakternya tanpa memberikan kepentingan di dalamnya. Saya paham, sang pembuat hendak menunjukkan sebuah kehangatan keluarga sebelum ajal menerpa, namun niatan tersebut nyatanya tak membeikan dampak yang signifikan akibat nihilnya sebuah kedalaman.

Selanjutnya, Selepas Tahlil pun hanya berkutat pada kegagalan serta keanehan yang terjadi sebelum proses pemakaman dilangsungkan. Di atas kertas, hal tersebut mungkin terdengar menyeramkan, namun tidak demikian dengan eksekusinya yang nihil sebuah kebaharuan. Segala trik konvensional khas film horor klasik akan sering ditemui dalam filmnya. Misalnya, adegan kala penonton menyaksikan jenazah yang terbangun selepas dimandikan nyatanya hanya sebuah tipuan sambil lalu dalam kenyataan yang dirasakan karakternya.

Usaha filmnya untuk memindahkan setting ke Surabaya, tepatnya di kediaman sang paman, Setyo (Adjie N.A.) pun tak menghindarkan filmnya dari sebuah kemonotonan alur. Naskah yang terlampau tipis miliknya pun sulit untuk mengatrol segala pengadeganan yang kentara bak sebuah pengulangan (baca: repetitif) yang berlangsung hingga konklusi filmnya tiba.

Memasuki konklusi, filmnya pun masih menerapkan trope yang jamak dipakai. Prosesi rukiah dengan bantuan Ustaz Zuhri (diperankan oleh Abbe Rahman) hingga lantunan Al-Fatihah dan Ayat Kursi seolah menjadi andalan untuk menyelesaikan segala persoalan dari twist yang masih berkutat mengenai perjanjian dengan iblis ini.

Setidaknya, apresiasi patut untuk diberikan kepada Adriano Rudiman selaku sutradara yang tak membebankan dan mengandalkan filmnya pada sebuah jumpscare serampangan ataupun membuat deretan hantu dengan riasan berlebih. Adriano memilih opsi sederhana, demikian pula dengan keseluruhan filmnya yang terlampau sederhana dan nihil sebuah modifikasi bernama kebaharuan.

SCORE : 2.5/5 

Posting Komentar

0 Komentar