Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PULAU (2023)

 

Sebelumnya, Pulau (di Indonesia sendiri dirilis dengan judul Pulau Terkutuk) penuh dengan kontroversi di Malaysia sedari awal trailernya dirilis yang mendapat kecaman dari Menteri Komunikasi dan Dewan Konsultasi Malaysia untuk Organisasi Islam yang menganggap bahwa filmnya berkedok soft-porn. Mengesampingkan hal itu, sejatinya Pulau (yang dirilis di Indonesia tanpa sensor) tak menjadikan hal tersebut sebagai sebuah elemen krusial selain sebagai penyesuaian tempat yang mana dianggap sebuah hal yang lumrah jika meniliknya atas dasar seni. Alih-alih peningkatan secara kuantitas, Pulau sendiri justru miskin secara kualitas.

Itu sudah terjadi semenjak paruh jam pertamanya yang murni dikemas sebagai sebuah vlog jalan-jalan dengan memamerkan keindahan Pulau Langkawi yang memang terlihat indah di layar. Namun, sebagai sebuah tujuan filmnya justru kekurangan ide guna mengemasnya sedemikian mumpuni tatkala mengenalkan barisan karakternya yang miskin sebuah karakterisasi selain sebagai calon untuk ditakut-takuti. Singkatnya, Pulau adalah satu lagi horor yang sebatas mengisi tanpa pernah memberikan sebuah urgensi.

Premisnya sendiri formulaik. Sekelompok remaja yang berniat melakukan sebuah liburan di resor pilihan tak sengaja mendapati bahwa mereka menemukan sebuah pulau terlarang yang menyimpan sebuah misteri kelam. Dipimpin oleh Kat (Amelia Henderson) yang memiliki indra keenam, sisanya adalah karakter standar khas film b-movie, Khai (Ikmal Amry) yang menaruh rasa terhadap Kat dan menyadari bahwa ia memiliki saingan lain bernama Ben (Alif Satar), sepupu sahabatnya, Lili (Joey Leong) si vlogger, Mark (Vikar) si penakut yang terang-terangan ikut untuk melihat pesta bikini, dan dua pasangan mesum, Dauz (Jazmy Juma) dan Yus (Sanjna Suri).

Secara tak sengaja, resor yang mereka tempati juga kedatangan sang geng lawan. Dari sini semuanya bermula, tatkala kelompok Kat dan geng lawannya taruhan untuk sebuah permainan tradisional dengan hukuman yang mengharuskan yang kalah menginap semalam di pulau terlarang. Sampai sini, anda justru bisa menebak kemana arah naskah buatan Eu Ho (turut merangkap sebagai sutradara) bersama Fred Chong (turut merangkap sebagai produser) dan Tommy Loh bermuara.

Sulit untuk bersimpati terhadap para karakternya yang memang terang-terangan tampil bodoh. Semua larangan dilanggar begitu saja yang justru dijadikan alasan untuk sang hantu melangsungkan serangan. Jangankan hantu, manusia berakal pun akan marah jika tempatnya dirusak, dikencingi bahkan dijadikan tempat mesum oleh orang tak tahu malu. Pulau diisi oleh karakter sterotype menyebalkan dalam film horor yang dengan senang hati saya sumpahi nyawanya meregang.

Sejenak saya mengesampingkan fakta bahwa filmnya dibuat semata-mata hanya untuk menampilkan barisan kematian karakternya akibat melanggar aturan. Filmnya sendiri mengkhianati rules utama yang terkait serangan sang hantu yang begitu malas dan penuh tanda tanya. Apa repotnya melenyapkan satu persatu karakternya yang terang-terangan merusak tempat miliknya jika dia terlampau sakti bisa melenyapkan sekumpulan orang dalam perahu yang secara partikular tak bersalah?

Ketidakberesan itu semata-mata diperpanjang demi menghadirkan rangkaian serangan hantunya yang alih-alih menyeramkan justru mengundang tawa. Melihat sang hantu menyerang bak menegaskan bahwa ia adalah siluman katak jadi-jadian, atau tatkala ia mengikuti karakternya bersembunyi di bawah air bak sebuah gelandangan yang penuh dengan belas kasihan. Padahal, tata riasnya sendiri terlihat meyakinkan dan patut untuk diapresiasi.

Hingga datanglah sebuah twist paling bodoh yang mencurangi kesulurahan filmnya. Entah sebuah ide dari mana yang menganggap bahwa konklusinya begitu mind-blowing dan sarat akan sebuah kejutan pintar. Eu Ho dan rekan penulisnya seolah bermain-main dengan anggapan bahwa keseluruhan filmnya memang tak seharusnya terjadi. Jika hal tersebut dikedepankan, untuk apa repot-repot membangun 112 menit penuh kekosongan?

SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar