Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - TEDDY (2020)

 

Teddy menandai kali kedua bagi penulis-sutradara sekaligus saudara kembar, Ludovic Boukherma dan Zoran Boukherma pasca fitur panjang mereka di Willy 1er (2016), sebelumnya film ini sudah berjaya di berbagai macam kancah festival (Cannes, Berlinale, Busan) dan beruntungnya dapat saya saksikan beberapa minggu lalu di My French Film Festival secara eksklusi di Klik Film. Bergerak dalam ranah horror-comedy (tepatnya komedi hitam), Teddy adalah suguhan langka yang tak lupa memberikan penghormatan pada film klasik, tepatnya manusia serigala alias werewolf.


Diperankan secara meyakinkan oleh Anthony Bajon dengan gaya deadpan-nya, Teddy secara terbuka menyebut dirinya bersama keluarganya adalah orang yang bodoh. Tinggal di sebuah kota terpencil bernama Pyrenees, keseharian Teddy adalah bekerja di sebuah panti pijit milik Ghislaine (Noemie Lvovsky) dan mengunjungi pacarnya, Rebecca (Christine Gautier) untuk sekedar bercinta dan kembali pulang ke rumah dengan sang paman yang alkoholik, Pepin (Ludovic Torrent). 


Suatu hari, kala polisi tengah dikejutkan oleh fenomena kematian domba yang terurai ususnya dan diduga dilakukan oleh serigala, Teddy mengalami insiden kecil kala dirinya melakukan perjalan pulang melewati hutan, punggunya berdarah dan layar tiba-tiba hitam. Singkatnya, Teddy digigit oleh hewan lia (lebih tepatnya serigala, tanpa ditampilkan secara gamblang, penonton pun sudah menduganya). Dari sini kehidupan Teddy mulai berubah.


Unsur lycanthropy dalam Teddy bukan semata eksis untuk menebar teror dalam skala besar, melainkan lebih ke manifestasi sifat kemarahan manusia yang tak terkontrol. Itu setidaknya yang dilakukan Boukherma Bersaudara dalam memberikan modernisasi yang amat relevan pula eksekusi yang brilian. Boukherma piawai dalam meracik komedi hitam yang secara relevan hadir dalam bentuk sebuah kewajaran naluri manusia yang terpinggirkan.


Pun demikian dengan unsur horror-nya yang menerapkan body-horror seperti ketika transformasi Teddy pasca digigit, paling mengendap lama di kepala adalah tatkala Teddy menarik bulu panjang di kelopak matanya jadi pemandangan yang mengerikan, sensitivitas penyutradaraan Boukherma Bersaudara terasa di sini.


Teddy bukanlah tontonan konvensional yang akan banyak disukai orang, tetapi ini adalah suguhan brilian sembari bermain santai dan kemudian memuncak di konklusi bersamaan dengan datangnya sebuah ironi. Didukung oleh sinematografi Augustin Barbaroux yang dengan setting-nya yang tak banyak mampu menghadirkan gambar yang estetik perihal sisi gelap kota kecil dengan setumpuk kekhawatirannya.


Konklusinya meminjam gaya Brian De Palma, tepatnya Carrie, lengkap dengan segala kekacauan dan kebrutalannya, prom night digantikan dengan acara kelulusan yang seketika menjadi panggung darah ketika lampu mulai meredup dan mati. Meski tak ditampilkan secara on-screen, Boukherma Bersaudara tetap membuat penonton menganga kala tumpukan mayat dan darah menjadi pemandangan yang mengerikan. Klimaksnya mungkin tampil terlalu cepat sementara saya ingin berlama-lama menikmatinya, Teddy kemudian ditutup oleh sebuah ironi yang bermula dari kemarahan itu sendiri.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar