Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - LA TAHZAN: CINTA, DOSA, LUKA...

 

Selepas Ipar Adalah Maut, hadirlah La Tahzan (lengkap dengan sub-judul Cinta, Dosa, Luka...) yang menandai kolaborasi kedua seorang Hanung Bramantyo bersama kreatornya, Elizasifaa. Adaptasi yang (masih) berdasarkan utas TikTok miliknya (yang konon terinspirasi dari kejadian nyata) ini bak sebuah carbon-copy, gantikan adik ipar dengan Asisten Rumah Tangga (ART) yang hanya sekadar perubahan minor. Selebihnya, kurang lebih sama, bedanya film ini bergerak liar dan mendadak banting setir ke arah yang tidak terduga.

Masih perihal kehidupan rumah tangga bahagia, di mana Alina (Marshanda) seorang entrepreneur di bidang jasa titip tas    tak ragu untuk menyebut sang suami, Reza (Deva Mahenra) sebagai orang dibalik kesuksesannya. Singkatnya kehidupan rumah tangga mereka amatlah bahagia, terlebih setelah hadirnya buah hati tercinta, Rere (Rachael Mikhayla) dan sang adik yang masih batita, Malik (Mikaeel Pahlevi Saputra). Karena kesibukannya, Alina lantas menyewa ART untuk mengurus Malik lewat yayasan penyalur yang kemudian menunjuk Asih (Ariel Tatum). Di sinilah rumah tangga Alina dan Reza menemui bencana.

Sebagaimana film bertema sama pada umumnya, kedatangan Asih mampu menarik simpati Alina dan Reza karena kepekaan dan ketangkasannya dalam merawat Malik, meski di saat bersamaan, Bi Kar (Asri Welas), asisten senior, menyimpan rasa curiga lewat gelagat anehnya yang menyimpan sebuah maksud tertentu. Jelas anggapan tersebut ditepis oleh Alina dan Reza yang menganggapnya hanya berprasangka buruk.

Naskah hasil tulisan Hanan Novianti (Galaksi, Mohon Doa Restu, Saiyo Sakato) tak memberikan sebuah pembaharuan signifikan selain setia mempertahankan pakem, itulah mengapa paruh awalnya menghabiskan banyak durasi hanya untuk diisi oleh rangkaian dialog sederhana yang bertujuan membangun cerita secara gamblang. Hal tersebut memang bukan sebuah masalah selama sang pembuat mampu merangkainya sedemikian baik, namun yang terjadi pada La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... adalah sebuah cara untuk mempertebal durasi tanpa adanya sebuah tujuan berarti.

Tak butuh waktu lama untuk kita menyaksikan jalinan terlarang antara Reza dan Asih yang mampu menyulut sumpah serapah para penontonnya seolah-olah tengah menyaksikan sajian opera sabun di televisi. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, Hanung paham betul bagaimana mengolah hal tersebut guna menjaga atensi penonton di depan layar. Keputusan ini justru membuka sebuah repetisi yang sekali lagi, hanya sebatas mempertebal durasi.

Memang, sajian semacam La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... bukanlah sajian yang terbilang pintar. Kesengajaan untuk menyulut emosi memang tujuan utama pembuatan filmnya, yang pada titik ini mungkin akan memecah persepsi penonton. Mereka yang akan setia terpaku pada layar tanpa memikirkan tetek-bengek penceritaan, dan mereka yang merasa filmnya bak sebuah pengulangan dengan tujuan mengeruk pundi finansial semata. Sayangnya, saya berada pada barisan kedua.

Bohong apabila saya tak terhibur sepenuhnya oleh drama opera sabun ciptaan Hanung Bramantyo, namun dengan durasi yang memakan waktu dua jam lebih (tepatnya 139 menit) filmnya sarat akan tarik-ulur yang sejatinya bisa tampil padat tanpa mengganggu keseluruhan cerita. Beberapa karakter pun berujung hanya sebuah pernak-pernik semata tanpa terasa urgensinya. Patricia Gouw dan Reza Nangin yang masing-masing berperan sebagai sepasang pasutri sekaligus sahabat dekat Alina dan Reza adalah dua nama yang harus kena batunya. 

Memasuki paruh kedua, emosi penonton terus digerus ke batas maksimal, yang rasanya sumpah serapah saja tak cukup untuk mewakilinya. Berbeda dengan Ipar Adalah Maut yang setiap kemunculannya mampu menghadirkan sebuah antisipasi, La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... tampil nihil urgensi. Jelas, ini adalah sebuah penurunan akibat ketamakan sang sutradara dalam menyajikan momen dan atau adegan serupa namun tak sama.

Beruntung, La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... memiliki jajaran pemain yang kapasitasnya tak perlu diragukan lagi. Marshanda tampil dengan emosi yang meledak-ledak sesuai keinginan cerita, sementara kombo Ariel Tatum dan Deva Mahenra menciptakan sebuah api yang semakin disulut semakin membesar dampaknya. Kehadiran Asri Wela dan Bendictus Siregar sebagai Kang Karyo, bertugas memberikan sebuah penyeimbang dengan celotehan receh miliknya.

Sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya, paruh ketiga La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... banting setir ke arah yang tak terduga, seolah memainkan mode autopilot yang melipatgandakan "adegan horor menjadi horor". Seolah mengamini FTV azab dan sajian khas televisi pada umumnya, di titik ini filmnya mungkin akan memuaskan dahaga para target utamanya, meski jika ditilik secara filmis, filmnya jelas meninggalkan transisi kasar dan sedikit kacau (beruntung tak mengganggu laju filmnya secara keseluruhan berkat petunjuk sederhana yang terlampau generik pada umumnya). 

Konklusinya pun mengambil jalan pintas berkedok kesempatan kedua dengan menyerahkan segalanya pada ajaran agama. La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka... mungkin bukan sajian yang sengaja dibuat untuk menghadirkan sebuah lonjakan kualitas, para pembuatnya pun sadar akan hal itu. Namun, pasca Ipar Adalah Maut yang mampu memberikan dan menyeimbangkan antara permintaan dan keputusan, rasanya film ini bak sebuah penurunan yang cukup signifikan.

SCORE : 2.5/5 

Posting Komentar

0 Komentar