Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PAMALI: TUMBAL

 

Dunia semesta milik Pamali selalu konsisten membawa folklore-horror lokal di setiap judul miliknya. Pamali (2022) mengetengahkan asal-usul Kuntilanak, begitu pula dengan Pamali: Dusun Pocong (2023) yang menjadi satu-satunya trilogi dengan twist paling rapi. Kini, giliran Tuyul (dan Kuntilanak Hitam) yang menjadi sorotan utama berdasarkan adaptasi gim populer Pamali dengan tajuk The Little Devil. Sayangnya, kualitas yang dihasilkan pun masih sama konsisten dengan dwilogi sebelumnya.

Sebagaimana dua film sebelumnya, latarnya masih bertempat di sebuah desa (filmnya tak menyebutnya secara gamblang nama desa yang dimaksud) di mana Putri (Keisya Levronka), siswi yang masih duduk di bangku SMA, tinggal bersama ibunya, Ambar (Nai Djenar Maisa Ayu) serta adik bungsunya, Aji (Krishna Keitaro) yang dikejutkan dengan hilangnya beberapa wanita secara misterius. Di saat yang bersamaan, hilangnya beberapa uang pun kerap menjadi keluhan para warga. Mereka hanya bisa mengadu kepada Pak Kades (Verdi Solaiman) yang hanya menanggapinya dengan santai.

Hubungan Putri dan sang ibu memang terlihat kurang dekat, terlebih Ambar melarang keras Putri untuk mengikuti kursus pelayaran di tengah motivasinya yang ingin membantu finansial keluarga, terlebih pasca mereka ditinggalkan sang ayah. Dalam kemarahannya, Putri mendapati sang ibu menghilang selepas ia sempat tidur berjalan dan mengalami gelagat aneh. Bersama Kiki (Ummi Quary), sahabat karibnya yang turut serta mengajak sang sepupu, Cecep (Fajar Nugra), mereka menyambangi pabrik di tengah hutan yang konon menjadi tempat pesugihan.

Satu hal mendasar yang patut mendapatkan apresiasi lebih ialah keberanian Pamali: Tumbal yang mengangkat Tuyul sebagai salah satu sosok dan atau entitas yang kerap dilupakan (film terakhir yang mengangkat sang entitas adalah Tuyul: Part 1 yang entah kapan dirilis sekuelnya). Beragam aturan main sang entitas pun ditampilkan cukup baik, semisal kegemarannya terhadap kepiting hingga kebutuhan untuk menyusu darah (inilah asal-usul sub-judul miliknya) turut diterapkan dalam upaya menciptakan sebuah kengerian.

Di samping itu, Pamali: Tumbal pun memiliki sosok Kuntilanak Hitam yang konon merupakan jenis Kuntilanak yang gentayangan membawa dendam. Seolah merupakan kombo teror, sayangnya naskah yang masih ditulis oleh Evelyn Afnilia masih terjangkit pola serupa, di mana hadirnya potensi urung dibarengi dengan cerita yang memadai. Sederhananya, semua aturan main sang entitas, hanya pernak-pernik semata yang urung digali kedalamannya.

Demikian pula dengan penyutradaraan Bobby Prasetyo yang sebatas menerjemahkan naskah secara mentah. Hal tersebut kentara ketika Pamali: Tumbal memasuki paruh ketiga, di mana transisi kasar hingga pengadeganan jumpy dan draggy terasa begitu nyata, seolah filmnya kekurangan tenaga pula malas untuk bercerita. Sungguh sebuah downgrade ketimbang Pamali: Dusun Pocong, yang sampai tulisan ini dibuat, masih merupakan film terbaik dari franchise miliknya.

Setidaknya, Pamali: Tumbal meluangkan waktu untuk bercerita di paruh pertama filmnya, serta keengganan untuk menampilkan jumpscare sesering mungkin tak lantas menjadikan filmnya sepenuhnya buruk. Demikian pula dengan unsur komedi miliknya yang berjasa lewat tangan dingin seorang Ummi Quary dalam menyulap dialog sederhana yang mampu mengundang tawa penontonnya. Meski ini berarti, kapasitas Fajar Nugra, sang karakter titular terkikis personanya, terlebih ketika naskahnya memaksakan sebuah "tragedi" hanya semata-mata demi menghasilkan sebuah drama yang sama sekali tak bekerja.

Ingin rasanya saya menyukai Pamali: Tumbal andai filmnya tak menomorduakan kualitas di atas kuantitas yang sudah sangat pantas. Beberapa keputusan nir-logika pun turut menjangkiti naskahnya, semisal keputusan tiba-tiba yang kerap dilakukan Putri serta kenekatan para karakter pendukung yang seolah-olah memberi jalan bagi mereka untuk tewas secara mengenaskan (dalam cara yang benar-benar terlampau sederhana). Semua dibuat semata-mata hanya untuk kepentingan dramatisasi, tidak lebih.

Hingga tibalah bagi Pamali: Tumbal untuk menampilkan konklusinya yang sarat akan simplifikasi (baik itu dari cerita, maupun eksekusi terornya), seolah menjadikan filmnya setengah jadi dengan niatan hanya sekadar memenuhi durasi. Setitik keberhasilan ialah ketika filmnya memberikan sebuah benang merah lewat kejutan karakter di film sebelumnya, hal ini pun tak serta-merta menyelamatkan filmnya dari kelemahan kualitas yang masih (saja) stagnan.

SCORE : 2/5 

Posting Komentar

0 Komentar