Article 15 dibuka oleh sekelompok orang dengan kasta Dalit tengah menyanyikan Kahab Toh Lag Jayee Dhak Se dengan Gaura (Sayani Gupta) memimpin suaranya. Sebuah lagu yang sarat akan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya yang bak lubang menganga. Pun, judulnya sendiri merujuk pada sebuah Pasal Nomor 15 yang berbicara mengenai hak dasar dalam Konstitusi India yang melarang diskriminasi oleh negara terhadap warga negara hanya atas dasar kasta, agama, jenis kelamin, ras, dan tempat lahir.
Ayaan Ranjan (Ayushmann Khurrana) adalah seorang inspektur polisi tambahan yang baru saja ditugaskan di desa Laalgaon, Uttar Pradesh. Ayaan merupakan lulusan universitas ternama di India yang setelahnya menghabiskan waktu di Eropa (London tepatnya). Impresi pertama Aayan tatkala sampai sama bingungnya dengan penonton yang dibiarkan bertanya-tanya mengenai tempat dengan keadaan iklim begitu gersang dan jauh dari kata sepadan. Ini bisa dimengerti, mengingat Anubhav Sinha (Dus, Ra. One, Mulk) selaku sutradara, secara terang-terangan berbicara bahwa ia membuat film yang akan melibatkan penonton di dalamnya sebagai tersangka (lebih jelasnya nanti dibahas).
Pada tugas pertamanya, yang tak berapa lama datang setelah kedatangannya, Ayaan dihadapkan pada kasus pembunuhan dua wanita yang tubuhnya di gantung di pohon. Pencarian dimulai, yang kemudian perlahan terjelaskan bahwa dua wanita tersebut merupakan korban pemerkosaan setelah menuntut kenaikan gaji sebesar 3 rupee di pabrik kulit di desa tersebut. Apa yang ditampilkan di sini barulaj permukaan, yang semakin lama waktu berjalan membawa kita pada sebuah fakta diluar dugaan.
Ditulis oleh Sinha dan Gaurav Solanki, Article 15 adalah police procedural sederhana yang mencari pelaku sekaligus menerapkan apa yang seharusnya diterapkan, yang seperti kebanyakan film serupa, mulai disalahgunkana dan menjadi sebuah kebiasaan, termasuk budaya impuntasi, korupsi, dan rasisme. Kata terakhir adalah yang paling kentara dan banyak digaungkan, yang kembali menghasilkan sebuah jalinan cerita menyakitkan sekaligus memilukan-yang secara tak sadar pernah/sedang kita lakukan (ini maksud diatas).
Kalimat rasisme berseliweran, entah itu berupa kata atau perbuatan. Salah satu pelakunya adalah Brahmadatt Singh (Manoj Pahwa) yang selalu mengedepankan status-quo, termasuk pada rekannya, Kisan Jatav (Kumud Mishra) dengan selalu menyebutnya anak tukang sapu serta pada rakyat Laalgaon yang menurut ucapannya selalu membual dengan mengajukan laporan yang kemudian diabaikan. Bahkan, satu piring yang tersentuh oleh para Dalit pun haram hukumnya untuk dipakai kembali.
Article 15 paling mencolok tatkala menampilkan gambaran nyata masyarakat India (khususnya, umumnya bagi seluruh warga negara) yang selalu memasang nama kasta di lengan mereka. Seolah sebuah tanda kekuatan yang patut dibanggakan. Aayan adalah seorang Brahmana yang selalu menanyakan apa pentingnya kasta dan bahkan menjuluki Laalgaon sebagai wild wild west.
Seiring tabir kebenaran diungkap, baik Aayan maupun penonton sama terkejutnya dengan apa yang terjadi di sekitar mereka. Article 15 terinspirasi dari peristiwa nyata diantaranya kasus gang rape di Badaun pada tahun 2014 hingga insiden pencambukan di Una pada tahun 2016. Kedua peristiwa tersebut menjadi landasan tersendiri, meski yang terakhir kurang dieksplorasi keberadaannya.
Turut berjasa adalah sinematografi hasil bidikan kamera dari Ewan Mulligan (Tum Bin 2, Mulk, Fubar) yang menghasilkan sebuah gambaran nyata terhadap realita di India, salah satu diantaranya adalah ketika seorang warga Dalit masuk ke dalam kubangan air kotor tanpa mengenakan alat pengaman, pun beberapa teknik long-shoot sesekali digunakan, disamping lantunan musik yang selalu membuat siapa saja bergidik.
Dua wanita tak bersalah tewas mengenaskan, disamping fakta bahwa ada satu lagi wanita muda bernama Pooja (Suchi) yang keberadaanya raib. Investigasi mengenai pencarian Pooja berjalan intens, terlebih kala seluruh warga juga pihak kepolisian turun tangan menuju rawa dan hutan belantara. Sementara pihak berwenang mencoba untuk menutup kasusnya, kebenaran bagi mereka yang terpinggirkan harus diterapkan.
Konlusinya sendiri tampil sebagaimana mestinya dengan membawa elemen yang begitu kuat dalam pengungkapan pengadeganannya. Bukan tanpa cela, beberapa plot sampingan (kasus pemilihan, gencatan penugasan) dibiarkan begitu saja, sebatas mengisi dan berakhir seiring kasus terselesaikan. Walaupun demikian, setidaknya, Article 15 berjalan sesusai tagline-nya, Farq Bahut Kar Liya, Ab Farq Laayenge (We discriminated, now we will bring abou a change).
SCORE: 4/5
1 Komentar
Best Betting Sites in the World 2021 - LuckyClub.live
BalasHapusLuckyClub is the world's leading virtual sports betting company. Providing the best virtual odds on the world's favourite online and mobile sports luckyclub.live