Berangkat dari pengalaman pribadi, Shiva Baby selaku debut penyutradaraan pertama dari Emma Seligman (turut merangkap sebagai penulis naskah) adalah suguhan jujur-di mana banyak orang ilhami kejadiannya. Shiva sendiri merupakan perayaan berkabung yang dilaksanakan selama seminggu di rumah orang yang baru saja meninggal, dan sebagaimana banyaknya acara yang dihadiri oleh keluarga, selalu saja menjadi pengalaman mengerikan tatkala masing-masing dari mereka mulai melontarkan pertanyaan dan membandingkan satu sama lain. Tentu, gambaran ini pernah kita rasakan bukan?
Tokoh utamanya bernama Danielle (Rachel Sennott) yang pada paruh awal filmnya tengah melakukan hubungan seksual sembari mengerang dengan seorang sugar daddy. Selang beberapa waktu, aktivitas itu harus ia akhiri setelah sebuah telepon memintanya untuk segera datang. Ya, panggilan tersebut rupanya berasal dari kedua orang tuanya, Joel (Fred Melamed) dan Debbie (Polly Draper).
Datang dengan dandanan lusuh, Danielle langsung diceramahi oleh sang ibu perihal menjawab pertanyaan orang-orang dan untuk bersikap sebagaimana dirinya sendiri. Sementara fakta mengatakan bahwa Danielle masih mencari jati dirinya dengan mempelajari studi gender dan menumpahkan segala tagihan terhadap orang tuanya. Bahkan, dalam sebuah percakapan, Debbie meminta Danielle untuk menjauhi Maya (Molly Gordon), mantan kekasihnya yang kini mantap melanjutkan kuliah hukum.
Shiva Baby adalah komedi yang kerap terasa horror. Entah itu dari peristiwa yang telah dan hendak ditampilkan hingga pengemasan scoring buatan Ariel Mark (The Tale, To Dust, Ted Bundy: Falling for a Killer) dengan petikan gitar staccato pula kunci piano nada tinggi. Peristiwa yang dilaluli Danielle adalah gerbang pembuka bagi tersibaknya kebohongan yang ditutupi, semakin memuncak tatkala hadir sugar daddy yang baru saja ia tiduri, Max (Danny Deferrari) bersama seorang wanita pebisnis sukses bernama Kim (Dianna Agron) yang turut serta membawa bayi perempuannya bernama Rose.
Demi menghindari kenikmatan menonton, saya takkan sepenuhnya mengungkap korelasi antar karakter yang saling berkaitan-selain mengatakan bahwa peristiwa berlangsung secara real-time. Emma Seligman menjadikan sebuah peristiwa secara relevan dengan mengedepankan sebuah progresi nyata bagi karakternya yang diterpa secara mendadak tampil perlahan, mulai dari kegelisahan, kekalutan, kecemasan hingga semuanya berkulminasi pada sebuah ketakutan bagi Danielle pula kita yang menontonnya. Siapa sangka aksi menghindari seseorang yang dikenal bak sebuah mimpi buruk yang nyata?
Semakin lengkap tatkala, kamera hasil bidikan Maria Rusche (Going in Style, Ghostbusters, Blindspot) memfasilitasai nuansa isi hati Danielle dengan beberapa teknik frantic maupun held-shoulders. Sebuah komparasi yang benar-benar membius mata dan perasaan ditampilkan kala apa yang disuguhkan oleh Seligman benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan, terlebih kala ia begitu teliti memperhatikan setiap detail yang keberadaannya memberikan sebuah manifestasi sarat koherensi (Rose yang menangis).
Merupakan versi panjang dari film pendeknya yang ia kembangkan, Shiva Baby adalah tontonan berisi yang selama durasi bergulir (77 menit) tampil padat dan tepat guna. Sebuah gambaran menyakitkan dalam nada sarkastik yang begitu epik. Jangan lupakan jasa Rachel Sennott yang berhasil menampilkan degradasi emosi yang tampil perlahan membesar layaknya pergerakan bola salju. Konklusinya semakin menguatkan makna judulnya pula kebiasaan para keluarga pada umumnya.
SCORE: 4/5
0 Komentar