Sebagai sajian coming-of-age, Sophie Jones tampil beda akibat keengganan untuk tampil mendramatisasi. Ya, seperti yang telah kita ketahui, protagonis utama kita bernama Sophie (Jessica Barr), remaja berusia 16 tahun yang mendapati dirinya ditinggalkan oleh sang ibu. Paruh awalnya memberikan sebuah clue secara tersirat, di mana Sophie mulai membuka lemari untuk sekedar melihat baju sang ibu hingga mencium dan menjilat abu kremasi. Setelahnya kita mengikuti aktivitasnya yang bergairah sebagaimana kehidupan remaja pada umumnya.
Di mata sahabat pula di lingkungan sekolahnya, Sophie mungkin akan dikenal sebagai pribadi yang ceria, namun tidak jika ia berada di rumah di mana sekat-sekat jarak tercipta antara dirinya dengan sang saudara perempuannya, Lucy (Charlotte Jackson) pula dengan Aaron (Dave Roberts) ayahnya. Di kebanyakan tema serupa, mungkin kita akan menemui Sophie dengan segala agresinya atas kehilangannya, tetapi dalam tangan sutradara yang tepat, semua itu tak perlu demi menciptakan sebuah kesan realistis, yang berarti meniadakan narkoba atau tanda-tanda suicidal lainnya.
Merupakan otobiografi dari kehidupan sang sutradara, Jessie Barr (sepupu Jessica Barr) yang mengalami kejadian sama seperti dalam filmnya, Sophie Jones adalah ungkapan jujur sang sutradara yang direalisasikan dalam medium film penuh cinta akan sinema. Berdasar itu, ia mengerti betul apa yang harus dan akan ditampilkan, termasuk beberapa kali memakai keheningan dan membiarkan gambar bercerita seutuhnya, semakin estetik kala penangkanap shoot-nya sempurna mewakili perasaan karakternya.
Salah satu contohnya adalah tatakala Sophie berkendara sembari membiarakan musik punk pop dalam mobilnya bersuara, sementara kamera mengikuti dibelakangnya dan secara pelan terlihat tetesan air mata jatuh di pipinya. Kita tahu Sophie tengah berduka, dan seperti kita yang kebanyakan berpura-pura perihal kesedihan, Sophie enggan menampilkannya untuk sekedar mencari simpati orang lain. Sophie menyalurkan kesedihan itu dengan kebangkitan seksual dalam dirinya yang ingin merasakan apa itu ciuman serta tanda merah di leher dan puncaknya adalah berhubungan badan.
Adalah Kevin (Skyler Verity), teman kelas teater (Sophie mengikuti ekskul teater) yang menjadi incaran Sophie untuk melepas keperawanannya, yang dalam beberapa kesempatan berakhir canggung. Secara bersamaan Barr memberikan komparasi lebih antara gairah dan kesedihan yang terus melanda jiwa Sophie, bahkan ketika Sophie kehilangan keperawanan untuk pertama kalinya ia benar-benar tidak bisa merasakannya.
Seolah menjadi agresi, Sophie bahkan mengajak Tony (Chase Offerle) hingga Sam (Jonah Kersey) hanya untuk sekedar merasakan senasi bercinta yang masih kabur (juga canggung), entah itu akibat dirinya yang terlalu was-was atau sang pria terlalu takut dan kegirangan (kasus yang terjadi pada Sam). Sophie Jones tampil begitu menawan akibat kontuniti yang secara bersamaan dapat mengaburkan perasaan juga menjadi ladang lebih terait karakterisasi murni, yang ditampilkan secara meyakinkan oleh Jessica Bar dalam gradasi emosi sempurna, baik itu meditatif maupun agresif.
Sophie Jones banyak mengingatkan saya akan Lady Bird (2017) yang masing-masing mengusung tema serupa dan bersinar berkat keahliannya memberikan suasana yang berbeda (membiarkan karkter sepenuhnya terikat dengan penonton). Setting-nya mungkin dengan cepat berganti, dari hari ke minggu hingga bulan dan tahun-yang cukup berantakan jika ditilik dalam segi naratif, namun, perasaan yang ditampilkan tetaplah sama.
Meski memiliki cela, Sophie Jones tetap tontonan murni nan jujur dalam melewati dan mencerna proses kehilangan menuju sebuah keikhlasan dan kesembuhan. Konklusinya menampilkan sebuah katarsis penuh makna, tatkala masing-masing keluarga berkumpul bersama dalam sebuah perayaan bagi sosok tercinta sekaligus penerimaan bagi diri atas sebuah kepastian bagi kehidupan yang terus berjalan.
SCORE: 3.5/5
0 Komentar