Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - LOST GIRLS & LOVE HOTELS (2020)

 

Merupakan adaptasi novel berjudul sama buatan Catherine Hanrahan (yang juga menulis naskahnya), Lost Girls & Love Hotels bak perpaduan Lost in Translation (2003) dengan trilogi Fifty Shades of Grey, di mana drama mengenai pencarian jati diri, yang dalam kata lain bisa disebut pelarian berpapasan dengan hasrat seksual tinggi penuh gairah sebagai upaya kenyamanan. Setidaknya itu menimpa pada protagonis kita yang bernama Margaret (Alexandra Daddario), seorang ekspatriat yang menetap di Jepang sebagai guru aksen bahasa Inggris bagi sekolah pelatihan pramugari.


"I tell my self there are no happy endings. Things are ragged and messy". Demikian ucapnya kala Lost Girls & Love Hotels membuka ceritanya lewat epilog sederhana-yang bisa saja merupakan cerminan nyata bagi sebagian orang. Margaret kerap datang terlambat dengan tampilan acak-acakan, yang membuat iba sang instruktur, Nakamura (Misuzu Kanno). Meskipun demikian, Nakamura memahaminya karena atas asas senasib sepenanggungan, yang memilih tak menikah demi mengejar masa depannya.


Keterlambatan Margaret dipicu akibat aktivitas malamnya yang kerap menghabiskan waktu di bar bersama sesama ekspatriat teman minumnya, Ines (Carice van Houten) dan Liam (Andrew Rothney). Setelahnya, Margaret kemudian mencari mangsa seorang pria lokal yang siap memuaskannya pula membayar sewa Love Hotels, sebuah jasa penginapan yang menawarkan pelayanan seks kilat secara privat di Jepang.


Kecenderungan seks berlebih membuat Margaret nyaman. Ini sejatinya dipicu oleh latar belakang keluarganya yang naas. Ayahnya memilih kabur, ibunya tahun lalu meninggal karena kanker, sementara adik laki-laki satu-satunya mengidap skizofrenia. Hingga pertemuannya dengan seorang pria bernama Kazu (Takehiro Hira) memberikan secercah kehidupan baginya, terlebih setelah Kazu tertarik terhadapnya pasca melihat Margaret menyukai selera seni Margaret terhadap buku buatan seniman Hokusai Katsushika.


Tak butuh waktu lama untuk Margaret terikat pada Kazu, yang tak hanya memberikannya kepuasaan secara batin, melainkan cinta dan perhatian secara fisik. Meski itu nyatanya takkan selamanya, mengingat Kazu tengah bersiap untuk menikah dengan seorang wanita asal Jepang. Perdebatan intim memberikan beberapa informasi termasuk asal-usul Margaret, pula arti dari "memotong jari" dalam klan Yakuza, mengingat Kazu adalah salah satu anggota diantaranya.


Disutradarai oleh Wiliam Olsson (An American Affair, Fortroligheten), Lost Girls & Love Hotels sarat akan unsur self-destructive, di mana elemen ini kentara sedari kredit pembukanya yang menyiratkan sebuah keluh-kesah seorang Margaret yang tengah mencari apa itu makna kehidupan sebenarnya, yang nantinya dijawab secara perlahan berkat bantuan karakter Kazu yang begitu berpengaruh terhadapnya. Klise memang, meski di beberapa adegan, Lost Girls & Love Hotels mampu menciptakan sebuah kesan mendalam tatkala kamera hasil bidikan Kenji Katori (Vantage Point, Spectre, Oveja negra) menampilkan sebuah keheningan, sementara fokus sepenuhnya dilimpahkan kepada Margaret.


Lampu neon warna-warni memang menemani hampir keseluruhan filmnya, yang mencolok akan unsur japanism, bersebrangan dengan kehidupan Margaret yang seolah kurang akan warna dan bahagia. Pertemuannya dengan Kazu memang terlampau cepat, bahkan sebelum penonton mengenal karakternya secara mendalam-hanya untuk dijadikan bahan perpanjangan naskahnya yang kurang akan sebuah keterikatan. Pasalnya, semua adegan datang dan pergi begitu saja, tanpa meninggalkan dampak yang signifikan.


Pengecualian untuk deretan aksi erotisnya yang kerap mengedepankan gaya hardcore mapun BDSM, ini mungkin akan selalu diingat meski penyuntingan secara cut to cut membuat sebuah perpindahan kasar yang cukup mengganggu, yang bisa dipahami-demi menghindari eksploitasi menyeluruh terhadap Daddario. Dengan karkternya yang terbilang kelam, Daddario tampil cukup mendalam, ketika sorot matanya banyak berbicara kekosongan pula gestur berjalannya yang sedikit sempoyongan, menandakan bahwa ia sedang tak bersemangat menjalani kehidupan.


Berlangsung selama 97 menit, Love Girls & Love Hotels terkendala perihal menyampaikan konklusinya yang tampil secara tiba-tiba, terlebih afeksinya yang amat menggampangkan dan terkesan tak berkesinambungan. Padahal, apa yang dilakukan sebelumnya layak untuk mendapatkan sebuah koda yang sarat akan makna. Dalam menjawab elemen self-destructive-nya, Lost Girls & Love Hotels memilih jalan deus-ex-machina sebagai penyelesaiannya, yang meski telah disinggung sebelumnya, jelas adalah sebuah katarsis yang terlampau praktis.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar