Budaya patriarki memang sudah mengakar sedari dulu, itu memanglah mutlak, mengingat pikiran kolot tersebut lahir dari seorang pria yang merasa dirinya bebas berbuat apa-apa, termasuk memperlakukan wanita sebagai orang yang tak lebih dari pelayan di dapur (dan di kamar). Umumnya pada zaman kerajaan, seorang raja dianggap tak perkasa apabila tak memiliki banyak istri guna menyalurkan hasrat birahi (terkecuali untuk mereka yang memperbanyak keturunan sebagai penerus kerajaan). Toxic masculinity seperti ini yang saya (dan kebanyakan orang) benci, yang mirisnya masih kerap terjadi pada situasi dewasa ini.
Bersetting pada abad ke-16, judul Paurashpur merujuk pada kerajaan fiksi di mana para pria berkuasa atas wanita. Terlebih, tempat ini dipimpin oleh seorang raja bernama Bhadrapratap Singh (Annu Kapoor) yang kebiasaaanya adalah menikahi wanita perawan guna menerima hasrat seksual menyimpang miliknya (baca: BDSM). Apabila sang wanita melawan atau tak memenuhi kriteria, hukuman mati siap dilayangkan. Meski pada kenyataannya, setiap ratu yang hendak di hukum mati seketika menghilang sehari sebelum proses eksekusi dilakukan.
Ialah Ratu Meeravati (Shilpa Shinde) yang sanggup bertahan sekaligus bertugas menyiapan para wanita yang hendak dijadikan "budak" bagi Bhadrapratap yang menutupinya dengan sebutan "ratu". Ratu Umanglata (Ashmita Kaur Bakshi) hingga seorang pelayan bernama Kala (Poulumi Das) adalah beberapa diantaranya yang dinikahi secara paksa sekaligus menerima hukuman berupa dilelehi cairan lilin panas hingga cambuki seluruh tubuh.
Terdengar kejam memang, namun, pada kenyataannya elemen patriarki hanya sebatas narasi yang berjalan dipermukaan tanpa adanya sebuah kedalaman. Naskah yang ditulis oleh Baljit Singh Chaddha, Ranveer Pratap Singh dan Rajesh Tripathi hanya sibuk menampilkan adegan seksual yang terbilang berani meski urung memberikan sebuah seni. Ambil contoh dengan apa yang dilakukan Lars von Trier dalam seri Nymphomaniac, yangdipenuhi oleh adegan seksual secara eksplisit yang tak sebatas numpang lewat atau menyulut birahi, kehadirannya memiliki sebuah arti sekaligus memperkuat karakterisasi.
Di lain adegan, kita juga diperkenalkan dengan para karakter yang memiliki afeksi terhadap tindakan patriarki, yang seharusnya bisa lebih kuat lagi andai diberikan sebuah kausalitas alih-alih aksi yang sengaja tampil mendadak, yang bisa saja dikaitkan dengan pembelaan terhadap para LGBT yang baru saja dilegalkan di India, pun kehadirannya terlalu pogoh untuk dibilang mendukung.
Aditya (Anant Joshi) misalnya, kita tidak pernah mengetahui alasan Pangeran yang satu ini begitu mencintai Bhanu (Sahil Salathia) yang juga menjalin hubungan terlarang dengan sang ibu, Meeravati. Pun, Kusumlata (Kashish Rai), istri Aditya, memilih pelayannya sebagai pemuas seksualnya, yang rela ia berikan kunci dari chastity belt (sabuk kesucian berupa celana dalam yang terbuat dari besi). Gambaran tersebut tak pernah memberikan kausalitas selain sebagai korban dari bobroknya penghuni kerajaan akibat budaya patriarki yang diterapkan oleh Bhadarpratap.
Terkait misteri menghilangya para ratu merupakan sub-plot klise dari manifestasi "perlawanan" yang nantinya dilakukan. Dari sini timbul pertanyaan, untuk apa aksi tersebut dilakukan kalau hanya sebatas mengumpulkan wanita guna dijadikan penghuni bordil dan memilih orientasi seksualnya tanpa paksaan? Bukankah ini bisa dilakukan tanpa harus menunggu waktu, mengingat jumlah wanita sebelum para ratu diculik sudah begitu banyak? Pengajaran bela diri serta menggunakan pedang lebih masuk akal selain sebatas alat membebaskan kegiatan seksual yang pada akhirnya menimbulkan sebuah kesan memalukan, memberikan label kepada wanita sebagai manusia hanya memikirkan area selangkangan.
Dan ketika "waktu itu" tiba, semuanya terasa dipaksakan. Mereka menyerang dibawah pimpinan Boris (Milind Soman) yang seorang cisgender pula kekasih dari Bhanu. Penampilan Milind Soman adalah juru penolong dari keseluruhan film yang tak memiliki identitas "mewakili" sebagaimana mestinya, meski terkair karakterisasinya bisa tampil lebih kuat lagi.
Disutradarai oleh Shachindra Vats (sebelumnya merupakan editor sekaligus asisten sutradara bagi film Notebook dan Jawaani Jaaneman), Paurashpur adalah series gagal yang sebatas menampilkan adegan seksual (itu pun tanggung) tanpa benar-benar becus membungkus elemennya yang seiring berjalannya adegan, semakin terjerumus ke lubang serius. Dan ketika konklusi menyiratkan sebuah sekuel, kita hanya sebatas menikmati kisah yang hanya setengah jalan. Peluang besar terhadap Veer Singh (Shaheer Sheikh) terbuka lebar, yang kehadirannya sebatas glorifed cameo bukanlah main-cast yang sebagaimana digemborkan dalam materi jualannya.
SCORE : 1/5
0 Komentar