Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE GRUDGE (2020)

Diproduseri oleh Sam Raimi dan dibintangi oleh John Cho. Demikian alasan terkuat bagi saya untuk datang pada The Grudge-yang semula diumumkan sebagai reboot bagi The Grudge (2004) dan Ju-On: The Grudge (2002) yang merupakan film aslinya. The Grudge akhirnya menjadi sebuah sidequel yang terjadi sebelum dan selama peristiwa The Grudge (2004) beserta dua sekuel langsungnya-sekaligus menjadikan filmnya sebagai angsuran ke-4 dari seri The Grudge versi Amerika. Keinginan (atau ketidakonsistenan) ini kemudian menciptakan sebuah kebingungan tersendiri kala filmnya memasukan tiga latar tahun sekaligus-lengkap dengan penceritaan narasi non-liner khas seri Ju-On maupun The Grudge.
 
 
Sebenarnya, tak masalah jika hal tersebut digunakan-dengan catatan dikerjakan secara runut dan beraturan. Ketimbang memilih patuh, The Grudge yang ditulis dan disutradarai oleh Nicolas Pesce (The Eyes of My Mother, Piercing) ini bak sebuah cerita yang terdiri dari tiga kisah dan dirajut paksa guna dicari benang merahnya-yang sebenarnya mudah diprediksi (bahkan kebanyakan sudah mengerti dengan catatan sudah menonton angsuran sebelumnya) dan dibuat serumit mungkin supaya penonton terkesan mendapatkan sebuah cerita yang mindblowing. Nyatanya, anggapan itu hanya berada dalam kepala Nicolas Pesce semata, tidak dengan penontonnya (yang ternyata bukan cuma saya) yang harus merasakan sakit kepala berkelanjutan selama 94 menit durasi berjalan.
 
 
Kisahnya sendiri mengetengahkan penelusuran Detektif Muldoon (Andrea Riseborough) yang baru saja pindah ke sebuah kota kecil bersama putera semata wayangnya, Burke (John J. Hansen). Niat yang semula guna menyembuhkan hati atas kepergian sang suami tiba-tiba berubah sebaliknya kala Muldoon bersama Detektif Goodman (Demián Bichir) ditugaskan untuk menangani satu penemuan mayat yang diduga merupakan Lorna Moody (Jacki Weaver). Setelah diteliti, kasus ini rupanya memiliki keterkaitan dengan kasus yang pernah ditangani oleh Goodman sebelumnya, yakni kasus mengenai keluarga Landers yang tewas mengenaskan pasca suami dan anaknya dibantai oleh Fiona Landers (Tara Westwood) pasca kepulangannya dari Jepang.
 
 
Tak perlu penjelasan ulang bahwa Fiona sejatinya mendapati sebuah kutukan. Kutukan yang kemudian melibatkan seorang makelar rumah, Peter Spencer (John Cho) beserta orang lain di dalamnya, termasuk Faith Matheson (Lin Shaye) beserta sang suami yang kini mendiami rumah di Reyburn Drive 44. Goodman yan enggan menindaklanjuti kasus ini karena dianggap riskan-membuat Muldoon diam-diam mengunjungi rumah tersebut guna menemukan sebuah kebenaran yang berada di luar dugaan.
 
 
Berbicara mengenai skena horor yang diterapkan The Grudge, yang menurut sang sutradara kental elemen J-Horror bahkan termasuk beberapa adegan di dalamnya (contoh sederhana seperti yang ditampilkan dalam poster utama) adalah dengan menampilkan beragam jumpscare serampangan yang dapat dengan mudah diprediksi kehadirannya. Seolah belum cukup menyeramkan (menurut sang sutradara beserta tim pembuatnya) mereka bahkan menambahkan scoring menggelegar, yang mengingatkan saya pada film horor lokal berkualitas jongkok yang kerap terjadi belakangan. Tentu, lewat deskripsi ini anda paham betul bagaimana kualitas sebenarnya bukan?
 
 
The Grudge dibuat semata hanya untuk menghasilkan pundi finansial semata. Dengan rumah produksi besar yang menempatkan Sam Raimi di bangku produser, mudah untuk tergiur dengan promosi yang ditampilkan dalam poster, sementara sisanya adalah sebuah kehampaan yang nyaris tak memiliki taji (kalau enggan disebut semata-mata dengan eksekusi sarat penguluran). Alhasil, apa yang dirasakan adalah sebuah rasa kaget (yang mengganggu) bukannya menyulut kengerian sebagaimana tujuan film horor diciptakan.
 
 
Padahal, dalam beberapa adegan bakat Pesce dalam menangani horor menguar kuat kala ragam penampakan tak dijadikan sebagai objek sasaran, melainkan sosok yang diam-diam berada di belekang, lengkap dengan kesunyian yang kemudian diterapkan. Meski terbilang medioker, pengadeganan ini jauh lebih terasa menakutkan ketimbang rentetan adegan yang menampilkan penampakan hantu dengan setor muka menghentak dan memenuhi layar.
 
 
Konklusinya pun luar biasa sederhana. Sebatas menerapkan formula yang biasa digunakan dalam horor setipe (yang berkualitas jongkok tentunya). Pembaharuan memang bukan sebuah keharusan maupun kewajiban, tetapi, apabila sebuah film nihil akan semangat pula sebatas menampilkan apa yang pernah dilakukan (in a negative way) dari sana timbul sebuah kemalasan-yang kemudian menciptakan sebuah hasil akhir yang tertuang dalam satu kata: ambyar.
 
 
SCORE : 1.5/5 

Posting Komentar

0 Komentar