Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - SPIRAL (2019)

 

Spiral hadir dengan semangat membawa gaya Peele-esque di mana horor yang sebenarnya merupakan cerminan dari situasi dewasa ini. Setali tiga uang dengan film tersebut, Spiral mengetengahkan cerita tentang pasangan sejenis, Malik (Jeffrey Bowyer-Chapman) dan Aaron (Ari Cohen) yang turut memboyong puteri semata wayangnya, Kayla (Jennifer Laporte) pindah dari Chicago ke sebuah pinggiran kota bernama Rusty Creek. Kepindahan mereka didasari mendapatkan sebuah ketenangan, terlebih bagi Malik yang tengah menyelesaikan novel (meski ia sendiri bertindak sebagai ghost writer).


Sesampainya di sana, Aaron disambut dengan senyuman ramah dari tetangga mereka, Marshal (Lochlyn Munro) dan Tiffany (Chandra West), sementara Malik disangka sebagai pekebun yang bekerja bersama Aaron sebelum ia meyakinkan bahwa Malik adalah pasangan hidupnya. Disutradarai oleh Kurtis David Harder (Cody Fitz, Incontrol) detail dialog kecil tersebut menyiratkan sebuah clue kedepannya, yang terjalin secara rapi sebelum kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.


Sudah barang lumrah dalam sebuah film horor bahwa keadaan tak akan baik-baik saja, selepas menerima ungkapan sarkastik dari sang tetangga, Malik mendapati rumahnya diteror oleh seseorang lewat sebuah tulisan di dinding. Ini seketika mengingatkan kembali pada trauma masa lalunya ketika berpacaran dengan seorang pria berkulit putih yang berujung pada aksi vandalisme dari mereka yang anti dalam menerima perbedaan.


Spiral adalah potret kecil bernama ketakutan yang dirasakan oleh mereka yang mengakui dirinya sebagai minoritas yang terus ditindas oleh para mayoritas yang seolah mempunyai kuasa atas semuanya. Ini adalah inti terdalam dalam filmnya yang tampil bergejolak, sementara dalam kulit terluarnya, Spiral sekali lagi adalah Get Out wannabe yang kehadirannya sudah tak mengejutkan lagi. Lebih dari itu, sedikit perbedaan diterapkan, yang menggiring Spiral menampilkan sebuah horor-psikologis yang mengaburkan kenyataan dengan khayalan yang bersumber dari pemikiran atas ketakutan.


Elemen yang disebut terakhir sejatinya mampu membuat filmnya memperluas penceritaan, meski harus diakui hasilnya tampil fluktuatif. Beberapa diantaranya mampu membangkitkan selera dalam mencari "jawaban", namun tak sedikit pula tampil sebagai tempelan. Naskah yang ditulis oleh Colin Minihan (Still/Born, What Keeps You Alive, It Stain the Sands Red) dan John Poliquin (Chilling Visions: 5 States of Fear, Grave Encounters 2) memiliki potensi besar dalam menghadirkan sebuah gebrakan, meski di paruh kedua tatkala membuka misteri sesunguhnya, filmnya seolah terburu-buru dalam memberikan jawaban, membuat aksi "pemecahan" tadi sebatas sebuah perjalanan yang kurang sepadan.


Pun, beberapa diantaranya tampil bak sebuah opera sabun (sebutlah keputusan antagonis yang melakukan konfrontasi setelah apa yang terjadi) beserta konflik perihal kecemburuan khas film televisi yang sangat disayangkan kehadirannya. Untungnya, keseluruhan filmnya tak sampai jatuh cringe setelah beberapa momen klaustrofobik ditampilkan dalam sebuah adegan yang melibatkan kamar, yang meski kejadian utamanya ditampilkan secara off-screen, tampil menaikan tensi setelah disusul oleh pemandangan mengerikan selanjutnya.


Harus diakui, Spiral memang tampil tumpang-tindih dalam menafsirkan rentetan adegan yang setelahnya urung berjalan rapi setelah keputusan mengambil jalan tengah dipilih. Penyederhanaan tersebut memang meninggalkan jejak kasar bagi filmnya, meski untuk menempatkan Spiral sebagai film yang benar-benar gagal adalah sebuah kemustahilan, ini lebih kepada film yang gagal memanfaatkan potensinya setelah mencapai separuh jalan.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar