Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - TRIBHANGA (2021)

 

Tribhanga adalah salah satu sikap dalam seni tari India klasik, Odissi. Di mana sebelum mencapai tribhanga, ada dua tahapan yang harus dilalui, yakni abhanga (yang cenderung aneh) serta samabhanga (yang seimbang). Tribhanga sendiri berarti sedikit gila namun seksi, begitulah kata protagonis kita, Anuradha (Kajol) yang merupakan seorang penari Odissi pula aktris Bollywood yang terkenal karena perselisihannya dengan sang ibu, Nayantara (Tanvi Azmi) yang merupakan seorang penulis peraih gelar terbaik.


Nayantara memang dipuja oleh khalayak, tetapi tidak oleh Anuradha dan Robindro (Vaibhav Tatwawaadi) yang enggan menyebutnya ibu. Tentu ada alasan lain yang melatarbelakangi kejadian ini, yang oleh sutradara debutan Renuka Shahane (turut merangkap sebagai penulis naskah) dijadikan sebagai ladang observasi penonton, seiring terbukanya tabir kebenaran yang ditampilkan dalam sebuah momen flashback, yang saking banyaknya, seolah naskahnya enggan menempuh jalan lain guna menerapkannya. Sungguh sebuah cara yang sangat disayangkan, mengingat premis Tribahanga sendiri begitu potensial.


Keretakan hubungan Anu dengan sang ibu menemui titik temu kala ia dilarikan ke rumah sakit setelah mengidap stroke yang membuatnya terbaring koma. Di sana, Anu bertemu dengan Milan (Kunaal Roy Kapur), seorang penulis bergelar phD yang bertanggung jawab atas buku autobiografi Nayantara. Impresi pertama Anu denga Milan tak berjalan baik, beragam sumpah serapah pula ungkapan sarkastik dilontarkan oleh Anu, yang lewat performa kaya emosi dari Kajol, berlangsung begitu mengasyikan.


Tribhanga kaya akan rasa pula cerita yang seharusnya tampil lebih tertata. Beragam pemahaman pula kritikan bahkan sentilan dijejalkan, mulai dari isu seputar kekerasan seksual, keretakan rumah tangga, masalah keluarga hingga yang terpenting berupa pemberdayaan wanita yang gagal sepenuhnya terasa. Ini diakibatkan oleh kurangnya pendalaman akan cerita yang membuat masalah diatas hanya berjalan dipermukaan saja, pun penempatannya hanya sebatas hadir dalam dialog. Tak lebih.

 

Disaat sinema arus utama Bollywood tengah gencar menyampaikan suara, Tribhanga justru hadir prematur dan tenggelam bersama ide cerita yang sulit untuk berkembang dan diselesaikan begitu saja. Sebutlah isu seputar penyakit masyarakat bernama patriarki yang masing-masing dirasakan oleh tiap-tiap karakternya, termasuk Masha (Mithila Palkar), putri semata wayang Anu yang mewakili gerakan samabhanga. Sekilas, Masha adalah yang paling seimbang diantara dua wanita disampingnya, namun ketika naskah membuka permasalahannya, minim sebuah letupan emosi kala momen tersebut ditampilkan menjelang akhir film, yang otomatis terselesaikan secara sederhana, cenderung disepelekan kehadirannya.

 

Untuk sebuah manifestasi dari gerakan tari Odissi, Tribhanga sendiri tampil cacat-karena kurangnya sebuah urgensi pula porsi masing-masing yang diharapkan nantinya menampilkan sebuah makna "cantik dan indah" sebagaimana melekat pada tarian Odissi. Narasi yang berjalan tumpang-tindih adalah salah satu alasan mengapa niatan tersebut urung berjalan.


Padahal ragam dialognya begitu tajam dan berani. Terlebih ketika menyangkut soal "pilihan diri sendiri" yang semakin bertenga ketika para jajaran pemainnya menampilkan sebuah penampilan berkesan lewat ragam gradasi emosi, baik itu yang bersikap verbal maupun non-verbal. Kajol seperti biasa tak usah diragukan kemampuannya, Tanvi Azmi dibalik karakternya yang dijadikan sumber masalah, menyimpan sebuah "hati yang besar" sebagaimana figur mutlak seorang ibu. Sementara Mithili Palkar, dibalik senyum manis pula diamnya, menyembunyikan sebuah luka yang selalu ia pendam dalam-dalam.


Berlangsung selama 95 menit, Tribhanga tampil minim musik maupun lagu sebagaimana ciri khas sinema India. Konklusinya berpotensi tampil hangat andai (sekali lagi) tak dibarengi dengan sebuah jalan tengah bernam simplifikasi yang seharusnya paling dibenci dari keseluruhan ini.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar