Belum genap dua minggu, masyarakat India dihebohkan oleh kejadian tak berperikemanusiaan di mana gajah yang tengah hamil tewas akibat memakan nanas berisi petasan. Untuk itu, dunia sosial media menyuarakan #AllLivesMatter sebagai bentuk dukungan pula kutukan bagi pelaku kejahatan. Sejalan dengan hal tersebut, lewat Junglee-yang menandai kali pertama sutradara Hollywood menyutradarai film Bollywood, Chuck Russell (Eraser, The Mask, The Scorpion King) sekali lagi memantapkan "aksi suara" yang tak kalah pentingnya.
Dari sini juga, Junglee memberikan sebuah edukasi lewat sajian sinema, di mana aksi kejahatan terhadap gajah (atau hewan lainnya) di tampilkan secara nyata-yang kemudian membuat penontonnya, khususnya anak-anak, paham akan aksi perburuan liar yang begitu merugikan. Jangan harap sajian eksplisit, karena itu akan menodai usungan pesan perdamaian-meski di satu kesempatan, para pembuatnya paham betul bagaimana menampilkan sebuah adegan yang menyulut aksi kutukan.
Kisahnya sendiri ialah mengenai Raj (Vidyut Jammwal), dokter hewan yang membuka praktik di Mumbai. Setelah meninggalkan kampung halaman selama 10 tahun akibat kejadian yang menewaskan sang ibu, Raj memutuskan untuk kembali guna menghormati kematian sang ibu sekaligus memperbaiki kembali hubungannya dengan sang ayah, Dipankar Nair (Thalaivasal Vijay) yang sejatinya bukan perkara mudah.
Di saat bersamaan, timbul sebuah ancaman dari Keshav Kotian (Atul Kulkarni), pemburu liar yang hendak memburu Bhola (teman semasa kecil Raj) yang diyakini memiliki gading terbaik untuk dijual. Tentu, naskah garapan Adam Prince (Red Sky, Final Girl) tampil sesuai prediksi, di mana orang yang memburu akan berakhir diburu. Dan, Junglee enggan menyembunyikan itu, memilih setia pada jalur formulaik-yang esensinya dapat gampang dipetik.
Itulah mengapa Junglee berjalan dengan baik berkat ketiadaan ambisi untuk tampil lebih dan murni sebagai sajian oldskul yang akan mengingatkan penonton pada Haathi Mere Saathi (1971)-nya Rajesh Khanna dengan dosis tambahan aksi yang membuka Vidyut Jammwal memamerkan gelaran seni bela diri Kalaripayattu. Tentu, ini setelah filmnya memasuki separuh durasi.
Bukan sebuah alasan dalam menampilkan penghematan-atau aksi telat sarat unsur kesengajaan, paruh pertama Junglee dihabiskan untuk menampilkan pembangunan kokoh di mana penonton diajak untuk berkeliling melihat penangkaran gajah, memahami, mengerti bahkan mencintai hewan bertubuh besar-yang juga diperankan oleh empat kawanan gajah terlatih sungguhan. Alhasil, keaslian akan gerak-geriknya terjalin natural.
Sementara paruh kedua murni sebagai hiburan sarat kesenangan. Sekali lagi, Vidyut Jammwal kembali merebut atensi kala memainkan aksi tangan kosong, pun sempat dalam sebuah adegan di borgol. Talentanya jelas tersalurkan-yang mana semakin menawan kala unsur komedi sempat dimainkan. Junglee pun tak ketinggalan menyentil para peminat barang yang terbuat dari gading-yang jika kebiasaannya dihentikan takkan menyulut para pemburu untuk melakukan tindak kejahatan. Sementara para pihak berwajib yang mengedepankan uang ketimbang pelindungan, siap untuk malu (dan sadar) untuk tamparan yang kesekian kalinya.
Bukan tanpa kekurangan, Junglee kerap tersandung kala memaparkan cerita mengenai para tokohnya yang sekilas tanpa nyawa dan belum lagi dengan unsur cinta segitiga yang tak pernah sampai pada tajinya. Sangat disayangkan, kehadiran Pooja Sawant sebagai Shankara, satu-satunya pawang perempuan sekaligus teman masa kecil Raj-yang berpotensi menjadi sosok tangguh ketimbang sebatas damsel in distress.
Walaupun demikian, Junglee adalah tontonan penting dalam memerangi aksi pemburuan dan tindak kejahatan lainnya. Seperti kutipan pernyataan Thomas Schmdit yang berbunyi "No one in
the world needs an elephant tusk but an elephant”, penonton seharusnya dapat mengerti tujuan utama film ini.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar