Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

PORTRAIT OF A LADY ON FIRE (2019)

Ditulis dan disutradarai oleh Céline Sciamma (Water Lillies, Tomboy, Girlhood) yang merupakan pendiri 50/50 x 2020, organisasi yang mempunyai misi untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam industri film Perancis serta festival Cannes, Portrait of a Lady on Fire adalah wujud nyata akan misi itu, menceritakan tentang hubungan perempuan lewat sudut pandang perempuan yang terkungkung dalam budaya patriarki-yang dituturkan secara jujur dan lembut, terlebih para orang dibalik produksi filmnya (sutradara, produser, sinematografer, asisten sutradara) adalah seorang perempuan.
 

Mengambil setting pada abad 18, Marianne (Noémie Merlant) adalah seorang pelukis yang disewa oleh seorang aristokrat, mengharuskannya datang ke pulau Brittany demi mengambil mengambil potret seorang wanita yang hendak dijodohkan dengan seorang bangsawan asal Milan. Wanita itu bernama Héloïse (
Adèle Haenel).
 
 
Héloïse menolak untuk dilukis. Mengakali hali itu, sang ibu menyusun strategi guna mendapatkan potret sang putri, yakni dengan meminta Marianne sebagai teman Héloïse untuk sekedar jalan-jalan ke pantai-sementara Marianne memperhatikan tiap detail tubuhnya. Hubungan yang sebatas teman bicara tersebut lambat laun berubah menjadi spesial kala keduanya sama-sama memiliki perasaan yang sama, yakni cinta.


Budaya patriarki, prosesi perjodohan, keputusan tanpa persetujuan semuanya diterapkan dalam Portrait of a Lady on Fire-yang mana terasa mengena pasalnya adat tersebut gencar diterapkan dan dilakukan pada masa abad pertengahan. Sciamma menjadikan poin tersebut sebagai dasar cerita yang membuat dua wanita terjebak dalam dilema, sementara menolak berarti harus menerima.


Ini memang tontonan berbasis LGBT, namun, Portrait of a Lady on Fire bukanlah sebuah akuisi guna menerima keberadaan mereka, Sciamma menerapkan sebuah realitas di mana hak harus dirampas-selama laki-laki masih memegang peranan tanpa batas. Portrait of a Lady on Fire adalah sebuah potret murni terhadap realita yang tak seindah yang kita kira, khususnya bagi mereka para wanita.


Menerapkan pacing lambat, Portrait of a Lady on Fire adalah sebuah studi karakter yang akan terasa berharaga kala kita mengamati dan memahami prosesnya. Hasilnya adalah sebuah kepuasan ketika Sciamma lihai memainkan peran. Terlebih, filmnya sendiri terasa lebih indah karena hasil bidikan kamera Claire Mathon (The Foreign Son, Also Known as Jihadi, Lust for Sight) memberikan sebuah pemandangan yang memuaskan mata-disamping rasa yang tak pernah surut kehadirannya.


Berbagai teknik sinema diterapkan Sciamma dalam merangkai filmnya-yang sesekali terinspirasi oleh gaya Alfred Hitchcock (Vertigo dan Rebecca) di mana tatapan mata kerap ditampilkan sebagai alat penyalur rasa-sementara kamera tampil statis, pun elemen Hitchcockian kentara ketika salah satu adegan memperlihatkan bayangan misterius yang selalu muncul dalam sisi gelap rumah. Esensi tersebut bukan tanpa isi, melainkan dijadikan sebagai clue pengantar emosi (juga kelanjutan adegan).
 
 
Sciamma tak hanya menjadikan Portrait of a Lady on Fire sebagai bahan tontonan, lebih dari itu, ia pun turut mengaitkan pula memperlihatkan sebuah situasi jika budaya patriarki dilakukan. Entah itu lewat barisan kata yang sarat akan makna hingga referensi cerita lewat mitologi Yunani (cerita Orpheus dan Eurydice), belum lagi berbagai hasil karya lukis yang mengisyaratkan sebuah makna tersendiri.


Bukannya tanpa cela, Portrait of a Lady on Fire terkendala perihal aspek romansa yang datang terlambat, meski bukan sepenuhnya kesalahan, karena sebelumnya ditekankan lewat permainan tatapan mata yang menghanyutkan rasa. Ini bisa ditolerir dan dimafhumi-mengingat kesalahan tersebut tak sama besarnya dengan pencapaian yang telah dilakukan.


Menuju konklusi, Portrait of a Lady on Fire tampil mempertebal emosi di mana Sciamma menghadirkan sebuah adegan yang berpotensi menghanyutkan perasaan. Berbekal pemandangan close-up yang berhasil menangkap talenta dari performa Merlant dan Haenel, filmnya memberikan sebuah penebusan yang sukar untuk dilupakan. Sementara notasi Four Seasons dari Vivaldi dimainkan, filmnya merangkum sebuah kejadian yang selalu hadir dalam ingatan. Penyesalan dan kesedihan bisa saja diluapkan.


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar