Diangkat dari sebuah buku berjudul sama yang ditulis dan berisikan memoar kehidupan Lee Israel, Can You Ever Forgive Me? selain sebagai bentuk peermintaan dan pengakuan maaf oleh orang yang selama hidupnya enggan meminta maaf dan meminta pertolongan (baca: anti sosial) menggambarkan bahwa sebuah tekanan mampu membuat irasionalitas berjalan, menghasilkan tindakan yang kemudian dilakukan demi sebuah alasan menjalani kehidupan. Kondisi ini memang relevan dan kerap terjadi dalam realita-yang mana membuat filmnya begitu dapat diterima-meski tak lantas dibenarkan.
Lee Israel (Mellissa McCarthy) adalah penulis biografi yang terjebak writers block, ia tak sanggup mengulang kesuksean buku semisal ia menuliskan kehidupan Dorothy Kilgallen pada tahun 1979 yang membawa karyanya masuk dalam daftar New York Times Best-Seller setahun setelahnya. Buku terakhirnya mengenai Estee Lauder gagal dipasaran dan mendapat kritik buruk-disamping perilisannya berbarengan dengan Lauder yang menerbitkan bukunya sendiri.
Dilanda tekanan kehidupan juga sang kucing peliharaan yang membutuhkan pengobatan, sebuah ide kriminal muncul kala Israel yang tengah meneliti untuk menulis biografi komedian Fanny Brice-menemukan dua surat yang ditulis oleh Brice. Surat yang seketika dibawa olehnya kepada Anna (Dolly Wells) sang pembeli sekaligus penjual buku-yang memberinya $ 350 setelah Israel menambahkan postcript. Perlakuan ini kemudian membuat Israel ketagihan, tindak kriminal berupa pemalsuan surat orang ternama membuatnya mampu menutupi tekanan bahkan tagihan kehidupan.
"Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan ketahuan juga" pepatah tersebut nantinya akan membawa Israel kelimpungan bahkan terancam hukuman-yang mana menghasilkan sebuah tekanan batin luar biasa yang ditampilkan oleh McCarthy lewat performa sempurna. Alasan mengapan filmnya begitu hidup adalah berkatnya yang kemudian disusul oleh Richard E. Grant yang memerankan Jack Hock, pria gay yang menjadi teman minum sekaligus penyalur tulisan Israel. Hubungan keduanya membawa sebuah segelintir dialog komedik-yang dihantarkan lewat nada sarkastik.
Ditulis naskahnya oleh Nicole Holofcener (Please Give, Enough Said, The Land of Steady Habits) bersama Jeff Whitty memang mengikuti formula arus utama film biografi, di mana narasi mengikuti kelangsungan hidup sang tokoh tituler beserta polemik yang diangkatnya. Can You Ever Forgive Me? memang enggan menberikan sebuah pembaharuan-namun kehadirannya memiliki sebuah urgensi yang sepadan, khususnya perihal sebuah tindakan yang berujung pada sebuah pembalasan.
Ini memang hukum mutlak yang terjadi. Sementara Can You Ever Forgive Me? seperti yang telah saya singgung mempunyai alasan tersendiri. Alasan yang dapat dimafhumi yang menghasilkan sebuah pembelajaran tersendiri. Berangkat dari tujuan tersebut, filmnya sendiri lancar menuturkan sebuah pesan yang patut untuk dilakukan.
Dalam penerapannya, sutradara Marielle Heller (The Diary of a Teenage Girl) lancar menuturkan ragam permasalahan penting kehidupan sang tokoh secara runut, menyuntikan emosi lalu memainkan semuanya sesuai takaran. Ini berarti bahwa filmnya sukses menjalankan misi utamanya, meski keinginan untuk bisa tampil lebih senantiasa terbuka lebar.
Berlangsung selama 107 menit, kehampaan sesekali terjadi mengiringi adegan. Ini berlangsung kala Heller meluangkan waktu untuk bercerita-sementara kita sudah paham betul apa yang hendak diceritakan. Singkatnya, filmnya sendiri sempat melakukan tarik-ulur guna mengisi kuota durasi.
Untungnya, hal tersebut tak lantas melucuti esensi. Can You Ever Forgive Me? menebus kesalahannya kala sebuah konklusi ditampilkan. Tak ada dramatisasi berlebih, cukup sebuah bentuk pengakuan secara implisit yang menghasilkan sebuah tamparan. Bukankah sebuah kesalahan dapat begitu menyakitkan ketika kita mengetahui sebuah kebenaran?
SCORE : 3.5/5
0 Komentar