Lewat Mulk, sutradara sekaligus penulis naskah Anubhav Sinha (Dus, Ra. One, Tum Bin 2) menyajikan sebuah paradigma seseorang/kelompok terhadap kepercayaan dan kebenaran akan agama (dalam konteks ini Islam). Kita mengenal masyarakat India mayoritas beragama Hindu, sementara Islam dan agama lainnya adalah minoritas. Timbul sebuah pertanyaan: Apakah setiap orang yang beragama Islam adalah teroris yang bersembunyi atas aksi jihadis? Apakah seseorang yang memilik janggut tebal dengan pakaian cingkrang dan peci yang selalu dipakai adalah ciri-ciri seorang teroris? Kekeliruan ini kerap terjadi dan bahkan mendarah daging dalam diri seseorang yang berpikiran sempit.
Berdasarkan kisah nyata (salah satu inspirasinya mengambil kisah David Headley, teroris asal Amerika berdarah Pakistan) Mulk mengetengahkan kisah mengenai salah satu keluarga muslim di India, yang baru saja merayakan ulang tahun ke-65 sang kepala keluarga, Murad Ali Mohammed (Rishi Kapoor). Di malam yang penuh suka cita tersebut, turut hadir Aarti (Taapsee Pannu) sang menantu-yang beragama Hindu yang baru saja datang dari London.
Selepas malam penuh suka cita itu larut, keluarga Murad harus menerima kenyataan bahwa sang keponakan, Shahid (Prateik Babbar) yang semula pergi ke Allahabad untuk menyaksikan pertandingan kriket adalah salah satu dari komplotan teroris bawahan Mehfooz Alam (Sumit Kaul). Shahid yang membawa sebuah bom dan menyelundupkannya ke dalam bus, bertanggung jawab atas kematian 16 orang yang tewas dalam kejadian, ia seketika menjadi bualan warta sekaligus menjadi incaran polisi anti-teroris yang dipimpin oleh SSP Danish Javed (Rajat Kapoor).
Kasus yang menimpa Shahid berimbas terhadap keluarga Murad yang disebut sebagai sarang teroris bahkan tempat peternakan calon teroris. Setidaknya itu yang dikatakan, Santosh Anand (Ashutosh Rana) sebagai Jaksa Penuntut Umum yang melengserkan Bilaal Ali Mohammed (Manoj Pahwa), ayah Shahid sebagai sosok dibalik terciptanya aksi yang mereka sebut jihadis. Bilaal bahkan di tahan untuk proses interogasi selama tujuh hari.
Untuk itu, Murad beserta Aarti maju sebagai pembela Bilaal, niat yang semula ditekankan bahkan turut menyeret namanya sebagai salah satu tersangka dan terpaksa harus mundur sebagai pengacara. Aarti adalah salah satu harapan mereka untuk mengembalikan kembali kehormatan serta agama yang telah disalahartikan.
Mulk adalah courtroom-drama yang tak muluk-muluk, dalam penuturannya, Sinha yang pada awalnya terinspirasi mengembangkan cerita setelah membaca berita koran-tak sungkan dalam menghadirkan sebuah kontroversi (bahkan film ini dilarang tayang di Pakistan). Dialog bernada Islamophobia dijlenterhkan guna menarik atensi. Hasilnya adalah sebuah durasi yang tak lelah menaikan tensi.
Ini bukanlah bentuk pelecehan terhadap agama-yang kerap disalahartikan, melainkan bentuk sebuah kejelasan yang bermula pada sebuah tek-tok-an beda pandangan. Sinha menyajikannya penuh dengan keberanian-yang mana membuat sebuah penelanjangan terhadap isu sensitif yang tak pernah berhenti dibicarakan dan dijadikan persoalan. Di lain kisah, ia pun menampilkan sebuah keaslian-betapa mengerikannya sebuah perselisihan yang tak berkesudahan, terlebih apabila hal tersebut menyangkut sebuah pemahaman.
Ini bukan sajian yang membenarkan aksi terorisme. Mulk jelas menentang keras tindakan demikian (ini ditegaskan lewat sebuah adegan yang memperlihatkan sebuah penolakan tatkala Murad menolak menerima mayat Shahid bahkan ia memperlihatkan sebuah keenganan kala diajak untuk merayakan kematian Shahid oleh pemeluk agama ekstrimis) sebagai sebuah larangan dan hanya berujung pada sebuah pelecehan pandangan terhadap sebuah agama. Sementara masyarakat berpikiran komunal hanya bisa tertawa melihatnya, lain halnya dengan sang pemeluk agama yang harus menerima cacian, hinaan, bahkan aksi lemparan beserta tulisan pengusiran. Apakah aksi tersebut menyakitkan hati mereka? Jawabannya tentu iya.
Dari sini, timbul sebuah pertanyaan baru: Apakah perbuatan si pengancam termasuk ke dalam aksi terorisme? Pertanyaan ini sejatinya tak perlu sebuah jawaban-melainkan sebuah pemikiran. Mulk adalah sajian yang penuh dengan ragam pertanyaan yang sulit untuk dijawab secara pasti, dibutuhkan sebuah aksi nyata guna menerapkannya-yang mana ini adalah tujuan utama filmnya. Setelahnya, sebuah kesadaran akan pandangan akan terbuka secara nyata.
Bukan tanpa cela, Mulk menerapkan sebuah pemaparan yang seolah terbagi menjadi dua yang membuat kuota durasi membengkak menjadi 140 menit. Untungnya ini bukanlah sebuah persoalan yang patut untuk diperdebatkan-mengingat esensi utamanya sama sekali tak terlucuti. Seketika bangkit kembali kala Mulk memperlihatkan ruang sidang sebagai tempat pergunjingan, dari sini pula, kita mendapati barisan dialog kaya isi yang berpotensi membuka hati.
Diperkuat oleh ensembel cast memikat, Mulk memiliki Taapsee Pannu yang memperlihatkan tokohnya jika bertukar posisi dengan tokoh yang pernah ia lakoni dengan Amitabh Bachchan dalam Pink (2016), Rishi Kapoor dan Manoj Pahma adalah hati film ini, sementara Ashutosh Rana menguarkan aura antagonisasi yang layak untuk dibenci. Kredit lebih patut diberikan kepada Rajat Kapoor yang diberikan sebuah tamparan keras pasca sebuah pernyataan membuka sebuah perilaku yang kerap ia lakukan.
Pada dasarnya, Mulk adalah sajian yang memperlihatkan sebuah kejadian apabila aksi miskonsepsi dan misinterpretasi mengisi, membuat seseorang begitu sensi atas perlakuan sebuah partisipasi tanpa terlebih dahulu memikirkannya secara pasti. Ini adalah sebuah gambaran akan keberagaman yang kerap disalahartikan akibat sebuah persepsi yang terlebih dahulu dianalisi, yang kemudian memunculkan sebuah sekat bernama "kita" dan "mereka" yang seharusnya tak ada apabila jalan bersama jadi acuan-yang semestinya dilakukan.
SCORE : 4/5
0 Komentar