"Kamu tidak bisa terlahir sebagai homoseksual. Ini adalah pilihan". Demikian ungkap Victor Sykes (Joel Edgerton) kepada Jared Eamons (Lucas Hedges), seorang pria berusia 19 tahun-yang terpaksa dikirim ke sebuah tempat pemulihan oleh kedua orang tuanya, Nancy Eamons (Nicole Kidman) dan Marshall Eamons (Russell Crowe)-yang berprofesi sebagai seorang pastor di sebuah Gereja Baptis dekat rumahnya. "Aku ingin kamu memiliki kehidupan yang hebat. Aku mencintaimu.Tapi kamu tidak bisa tinggal di bawah atap rumah ini jika kamu melawan arus kepercayaan kami". Demikian ujar sang ayah kepada Jared-kalau bukan sebuah pengusiran secara halus.
Menandai kali kedua seorang Joel Edgerton pasca The Gift (2015) duduk di bangku sutradara, Boy Erased dengan vokal menyuarakan sebuah "perbedaan" di tengah pikiran kolot pula cap "pendosa" kala menghadapi seseorang dengan pandangan maupun keadaan berbeda. Melalui filmnya, Edgerton menuturkan kepercayaan dengan sebuah pergolakan batin karakternya, membenturkan sebuah agama dan dosa.
Tentu hal demikian adalah sebuah "benturan" yang saling bertolak belakang-yang nantinya menciptakan sebuah gesekan-yang kuat. Edgerton-yang turut merangkap sebagai penulis naskah, menjadikan kedua elemen tesebut saling berkaitan, bersinggungan-yang kemudian disertai dengan sebuah tuntutan. Tuntutan untuk kembali ke jalan-yang benar.
Ini yang acap kali menjadi sebuah cambuk bagi Jared, kala sebuah intensi seksual kerap dipermasalahkan. Jared memang menyukai sesama, lantas apakah hal tersebut salah? Film tak segampang menjawab pertanyaan tersebut dengan mudah. Terdapat sebuah jalan berliku-yang harus dirasakan Jared. Terlebih, kala ia ditempatkan di sebuah konversi pemulihan.
Tempat konversi pemulihan tersebut bernama "Love In Action". Sebuah aksi yang mengatasnamakan "cinta" dengan sebuah perubahan-yang dipaksa. Para peserta harus mengaku bahwa dirinya seorang pendosa, tanpa mereka sadari mereka pun tak lebih dari seorang pemaksa dan pendosa-yang berlindung di bawah naungan agama. Terdengar miris, pasalnya hal serupa pun kerap terjadi di dunia nyata.
Boy Erased sejatinya bukan sebuah pembelaan terhadap "mereka", melainkan sebuah pengutukan bagi siapa saja-yang enggan menerima dengan pemikiran terbuka terhadap sebuah perbedaan. Terlepas dari aturan agama maupun-yang lainnya. Tanpa disadari, pemikiran tersebut dibutuhkan adanya-demi terciptanya sebuah kelangsungan hidup-yang lebih berjiwa dan tertata.
Disadur dari sebuah memoar berjudul sama karangan Gerrard Conley, Boy Erased merupakan sebuah pembangunan-yang tersusun rapi oleh sang sutradara. Edgerton telaten dalalm merangkai sebuah pengenalan, terbukti kala penonton disodori kisah Jared kecil hingga remaja-tanpa harus kehilangan pesona, di samping pengisahan pula pengadeganan tertata miliknya.
Boy Erased tampil dengan membawa rasa. Itu-yang konsisten dibawakan oleh sang sutradara terhadap filmnya. Itu mungkin tak akan terlaksana jika tanpa kehadiran barisan pelakon utama-yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya. Lucas Hedges mampu menggambarkan kondisi remaja-yang tertekan batinnya, sementara Nicole Kidman senantiasa menggambarkan kasih sayang seorang ibu-yang tak ada habisnya, di samping Russell Crowe-yang kerap gamang akan nasib buah hatinya.
Semakin indah kala kamera hasil bidikan Eduard Grau mampu menciptakan sebuah nuansa-yang juga menghantarkan rasa. Sebutlah sebuah adegan-yang melibatkan ranjang di dalamnya, dibandingkan mengandalkan sebuah nafsu, sebuah tatapan jujur dari karakternya memberikan sebuah keindahan-yang mendorong ranah rasa pula estetika.
Sementara lagu berjudul Revelation-nya Troye Sivan tampil menguatkan, Boy Erased adalah sebuah sajian kompleks untuk menjawab sebuah "perbedaan" yang kerap dipermasalahkan. Sebuah ajang untuk melepaskan tangan tanpa adanya sebuah beban. Demikian-yang konklusinya gambarkan.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar