"Dunia dipenuhi oleh orang-orang jahat", begitu ucap Mary Katherine Blackwood (Taissa Farmiga) atau yang kerap dipanggil Merricat oleh sang kakak, Constance Blackwood (Alexandra Daddario)-yang tinggal bersama sang paman, Julian Blackwood (Crispin Glover) di sebuah rumah besar (orang-orang memanggilnya Istana) terpencil di atas bukit kota kecil bernama New England. Mereka bertiga hidup terisolir, mengurung serta menarik diri dari dunia luar pasca sebuah kejadian yang menewaskan sebagaian besar keluarga mereka-akibat keracunan gula arsenik di meja makan.
Disadur dari sebuah novel klasik buatan Shirley Jackson (The Haunting of Hill House), We Have Always Lived in the Castle garapan sutradara Stacie Passion (Concussion) menekankan nuansa gothic dengan begitu kentara, sempurna membungkus keluarga disfungsional yang misterius (ini terjadi pada penokohan karakternya)-yang mampu menebarkan sebuah paranoia lewat raut wajah karakter, Constance yang selalu tersenyum demi menutupi tuduhan yang menimpa keluarga, Merricat yang percaya akan mantra-yang membuatnya melakukan penguburan terhadap barang tercinta-demi melindungi dirinya, sementara sang paman, Julian-menderita kelumpuhan dan kerap membenci kebisingan-demi menulis tragedi yang menimpa keluarga.
Konfliknya sendiri terjadi tatkala mereka kedatangan seorang tamu, Charles Blackwood (Sebastian Stan), sepupu keluarga Blackwood-yang berniat menguasai seluruh kekayaan keluarga tersebut. Dari sini, naskah garapn Mark Kruger mulai menaburkan pemantik ambigu yang misterius, membawa penonton pada perasaan menerka-nerka apa yang hendak terjadi, di samping kita tahu bahwa Constance menyambut Charles dengan suka cita, sementara Merricat sebaliknya, beranggapan bahwa Charles tak lebih dari "sosok manusia"-yang ada dipikirannya.
We Have Always Lived in the Castle harus diakui mampu mengejawantahkan kesunyian pula kemisteriusan pikiran Shirley Jackson-dengan ambiguitas moral yang kerap menimpa karakternya. Singkatnya, karakter dalam film ini adalah korban dari pengabaian masyarakat yang juga melayangkan tuduhan lain terhadap keluarga Blackwood-yang mereka anggap sebagai penyihir pula pemakan harta kekayaan mereka. Itulah mengapa kita mengerti alasan mengapa karakternya menarik diri, mendapati hari penuh teror kala dituntut untuk berbelanja ke pasar dan mengembalikan buku ke perpustakaan.
Film memang menuturkan kisahnya dengan begitu ambigu-itulah mengapa mungkin banyak dari penonton akan merasa aneh serta tak terikat. Sederhana saja, We Have Always Lived in the Castle adalah deskripsi dari rasa ketakutan yang pernah terjadi, membuat mereka was-was akan sesuatu-yang kemudian membentuk sebuah pribadi yang menarik diri-mengekang jiwa di dalam rumah di tengah dunia yang mereka anggap penuh dengan kejahatan. Memang, terasa sebuah misedukasi, tapi saya mafhum dan mengerti hal tersebut jelas terjadi pada sebagian orang. Itulah mengapa Constance mengidap agarophobia.
Kedatanagan Charles jelas menumbuhkan masalah baru di tengah kediaman keluarga tersebut, perbedaan visi serta misi membentuk sebuah jurang baru-yang menarik diri Merricat untuk mengusir Charles-berdasar karena rasa sayang terhadap sang kakak (juga keluarga yang tersisa). Stacie Passion menyuguhkan momen tersebut begitu sunyi-namun bergejolak, terlebih kita diajak melalu filmnya lewat sudut pandang Merricat-yang diperankan oleh Taissa Farmiga dengan penuh sensibilitas tinggi, tentunya di bantu dengan balutan CGI-yang membuat tubuhnya agar terlihat seperti remaja berumur 18 tahun, sesuai dengan umur Merricat.
Konklusinya sendiri membuat "Istana mereka" luluhlantah, memaksa Merricat dan Constance harus menghadapi ketakutan terbesarnya secara bersamaan. Passion membungkus momen tersebut sebagai puncak-yang turut melemahkan konklusinya, meski tak sepenuhnya terasa mengganggu. Kala perubahan sikap masyarakat terhadap keluarga Blackwood disajikan secara cepat-tak seperti kebencian-yang mereka tanam di dalam diri mereka. We Have Always Lived in the Castle memang sempat tersandung batu sandungan, meski kesan pasca menontonnya tetap sama seperti awal semula.
SCORE: 3.5/5
0 Komentar