Jika A Man Called Ahok (2018) berbicara soal sepak terjang tokoh kenamaan Basuki Tjahja Purnama, maka tak mengejutkan kala Anak Hoki-yang menerapkan tuturan fiksi dengan hanya mengambil sang tokoh sebagai poros cerita berjalan terlalu dibuat-buat, penuh kecanggungan pula kebetulan, tak mengherankan jika filmnya sendiri ditulis oleh Ally Alexandra-yang namanya malang melintang di dunia FTV pula sinetron.
Paruh utamanya mengisahkan tentang masa kecil Ahok yang memiliki tiga sahabat-yang sempurna menggambarkan sebuah Kebhinekaan. Dalam hati, saya berujar "pasti akan mengesankan!". Sayang seribu sayang, saya hanya bisa menelan ludah kala filmnya kemudian berselang beberapa tahun kemudian kala Ahok (Kenny Austin) menempuh pendidikan SMA dan melanjutkan kuliah di Jakarta.
Entah sebuah kebetulan/ketidaksengajaan, Ahok kemudian memiliki tiga sahabat dekat: Bayu (Christ Laurent) si playboy, Daniel (Lolox) pria berdarah batak yang diam-diam mengambil jurusan masak di tengah keinginan sang ibu (Tamara Geraldine) menginginkan sang anak menjadi pastor, terakhir Eva (Nadine Waworuntu) si gadis broken home dan anak seorang guru (Leroy Osmani)-yang merupakan guru Ahok, Bayu dan Daniel di SMA (Apakah ini kebetulan atau ketidaksengajaan lagi?).
Sungguh, sangat mengejutkan kala Anak Hoki ternyata digarap oleh Ginanti Rona-yang merupakan mantan asisten sutradara di balik film Rumah Dara dan dwilogi The Raid, pun debut penyutradaraannya di Midnight Show mampu mengesankan saya dengan thriller sarat akan ketegangan, Anak Hoki jelas bukanlah ranah sang sutradara-yang kurang paham akan seluk-beluk formula film komedi-drama.
Pengadeganan Ginanti Rona memang kerap tampil inkompeten, kala durasi hanya sebatas diisi petuah Ahok guna menyelesaikan permasalahan para teman-temannya. Kebaikan Ahok akan meluluhlantahkan semua tokohnya-yang kerap tampil menggurui. Jauh dari wibawa pula keberanian yang dibawakan Basuki Tjahja Purnama, apalagi, Kenny Austin hanya sebatas memasang perawakan bungkuk-tanpa ada nyawa sedikit pun dari sang tokoh, tambahkan pelafalan dialog yang kerap misleading.
Naskahnya luar biasa penuh kebetulan demi menuai sebuah kejutan-yang sama sekali nihil dampak. Tengok salah satu adegan kala Ahok mendoakan sang sahabat yang telah meninggal, mengucapkan kalimat "Selamat Jalan Sahabat" dengan nada lirih. Tunggu, bagaimana penonton akan ikut terenyuh jikalau kisah persahabatan mereka urung ditampilkan maupaun kita saksikan?
Belum lagi, Anak Hoki berusaha mengesankan penonton lewat sebuah tokoh bernama Amora Rey (Maia Estianty) yang dijadikan sebuah twist-yang berujung sebuah kesan cringey. Anak Hoki jelas butuh asupan naskah yang tinggi guna menampilkan sebuah sajian fiksi yang mampu memikat hati. Tak berarti memasang "kisah fiksi" seenaknya merangkai penceritaan.
Ditengok dari segi filmis, Anak Hoki luar binasa bermasalah, saking banyaknya saya dibuat pusing mendapati sebuah penghormatan-yang tak kunjung menghormati tokohnya. Timbul sebuah pertanyaan, apakah ini sebuah usaha memanfaatkan nama Basuki Tjahja Purnama sebagai alat pengeruk finansial?
Akhir kata, saya hanya bisa pasrah dan kemudian menyerah dengan Anak Hoki-yang terlalu memaksakan penceritaannya-tanpa adanya sebuah kesinambungan yang benar-benar kompeten. Setidaknya, saya bisa melihat Lolox yang mencuri perhatian berkat pembawaan komedi miliknya-yang sudah bisa membedakan mana "lucu" dan mana "menggelikan". Anak Hoki seharusnya mengikuti langkah tersebut.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar