Calon Bini garapan Asep Kusdinar (Magic Hour, trilogi London Love Story) mengusung fomula "Cinderella Story"-yang begitu jamak kita temui dalam tontonan sinetron maupun FTV. Tak masalah pula tak haram hukumnya kala sebuah film tampil dengan cerita formulaik, karena terkadang tontonan sederhana mampu menggugah selera berkat kesederhanaan dan tampil apa adanya. Saya rasa, Calon Bini patut melalukan hal itu, alih-alih kembali tampil dengan "hasrat lebih".
Diceritakan Ningsih (Michelle Ziudith), gadis asal Bantul-yang pasca lulus dari SMA berniat melanjutkan kuliah-namun terhalang ekonomi keluarga. Dari sini, naskah garapan Tittien Wattimena (Aruna & Lidahnya, Dilan 1990) bersama Novia Faizal (Cinta tapi Beda, Something in Between) memasukkan isu sosial yang kerap terjadi di masyarakat kita, kala pikiran kolot (dalam konteks ini masyarakat desa) kerap ikut campur perihal kodrat wanita-yang tak jauh dari menikah, memasakm, dan mengurus suami-tanpa harus mengejar mimpi, demikian kodrat wanita dalam pandangan mereka.
Ningsih dalam Calon Bini adalah simbol emansipasi (awalnya diniatkan demikian), menolak keras untuk dijodohkan oleh sang paman, Agung (Ramzi) untuk menikah dengan Sapto (Dian Sidik) anak dari Pak Kades (Butet Kartaredjasa), tentu ada sebuah niatan terselubung dari Agung dalam upaya menjodohkan Ningsih, yakni demi mengejar harta dan jabatan, sementara orang tua Ningsih, Maryadi (Marwoto) dan Ngatinah (Cut Mini) hanyalah seorang buruh tani.
Di hari lamarannya, Ningsih kabur dari rumah, pergi ke Jakarta dan bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Pak Prawira (Slamet Rahardjo) dan Bu Andini (Minati Atmanegara). Dari sini, paparan perihal "wanita berhak mengejar dan meraih mimpi"-yang awalnya diterapkan Calon Bini mulai bermasalah. Semua terjadi kala Ningsih bertemu dengan Oma (Niniek L. Karim), ibu dari Bu Andini-yang kerap merasa kesepian, terlebih kala ia ditinggalka oleh sang cucu kesayangan, Satria Bagus (Rizky Nazar)-yang dikirim oleh Pak Prawira dan Bu Andini kuliah ke luar negeri.
Saya kerap bertanya, perihal Niniek L. Karim-yang memerankan mertua dari Slamet Rahardjo-yang sepantaran dengannya (selisih lahir 10 hari), pun kala ia memiliki anak-yang diperankan Minati Atmanegara-yang berselisih 10 tahun dengannya. Sebuah kebingungan yang mengeleminasi logika, ini seperti melihat Zara JKT48 memerankan mertua dari Angga Yunanda alih-alih menjadikannya sebagai sepasang kekasih.
Kembali ke permasalahan yang menimpa Calon Bini-yang seperti telah saya singgung mengkhianati niatan awal yang awalnya diterapkan. Semua berawal dari ide cerita Sukhdev Singh (One Fine Day)-yang meminta sang screenwriter menulis naskah tanpa pemahaman yang lebih, sekonyong-konyong menyuarakan aksi "feminisme" tanpa mengerti makna yang mereka kerjakan. Kita tahu protagonis kita akan merengkuh mimpi-yang hanya bisa diselesaikan kala menemukan calon suami yang tampan dan tajir. Semuanya selesai di titik itu.
Naskahnya memang luar biasa malas, tengok penulisan karakter Michelle Ziudith-yang semula penuh akan harapan dan mimpi tiba-tiba berubah 180 derajat kala memiliki calon suami, atau yang lebih parah ialah penggambaran masyarakat Jawa (dalam konteks ini Jogja) digambarkan begitu kampungan, masuk ke rumah tanpa tahu etika, menggunakan kolam renang sebagai tempat penyucian-pula masih menggunakan bata ubin untuk menggosok gigi. Tentu, gambaran ini takkan kita temukan pada zaman sekarang.
Dari sini, saya pasrah dengan Calon Bini perihal menerapkan sebuah pesan emansipasi-yang berjung dirinya sendiri eliminasi. Seharusnya pembuat film ini belajar dari Cut Mini-yang mampu menyuarakan sebuah emansipasi lewat tatapan mata tajam dan dukungan penuh terhadap anaknya. Andai mereka sadar, Calon Bini takkan menjadi sebuah bencana bagi dirinya.
SCORE: 2/5
0 Komentar