Venom adalah bentuk dari sebuah inkonsistensi maupun salah kaprah mengenai sebuah film anti-hero dibuat. Kita tahu, Venom adalah villain yang sempat muncul di Spider-Man 3, pasca menonton filmnya, saya sama sekali tak merasakan sebuah makna dari cap dagang "anti-hero" miliknya. Yang ada hanyalah sebuah bentuk kebingungan dari para penulis yang terdiri dari: Jeff Pinkner (The Amazing
Spider-Man 2, Jumanji: Welcome to the Jungle), Scott Rosenberg (Armageddon, Spider-Man), dan Kelly
Marcel (Saving Mr. Banks, Fifty Shades of
Grey) dalam merealisasikan sebuah pencapaian tinggi yang sama sekali memiliki kualitas rendahan (sorry to say).
Ya, saya menyebut Venom begitu lantaran pasca kita diperkenalkan dengan karakter Eddie Brock (Tom Hardy), seorang jurnalis idealis yang kemudian mencoba mengungkap fakta dari sebuah perusahaan bernama Life Foundation milik Carltron Drake (Riz Ahmed). Kala Eddie mengonfrontasi Drake perihal sebuah rahasia kelamnya dalam sebuah wawancara timbul sebuah pertanyaan: Mengapa Eddie langsung mengonfrontasi Drake begitu saja tanpa sebuah trik yang semestinya diterapkan seorang jurnalis, terlebih ini mengenai perihal mengungkap sebuah kebenaran?. Ini yang membuatnya kehilangan pekerjaan, reputasi, juga sang kekasih, Anne Weying (Michelle Williams).
Carltron Drake mempunyai sebuah misi menyatukan entitas alien bernama Symbiote dengan manusia supaya ia dapat menciptakan spesies hibrida yang akan membantu Bumi yang tengah sekarat ini. Tak butuh lama kecurigaan Eddie kala datang ke sebuah lab yang membuat Symbiote keluar dan masuk ke dalam tubuh Eddie. Inilah asal-muasal Venom muncul dan memberantas setiap kejahatan dan tentunya menyelamatkan dunia dari berbagai ancaman. Ini pula yang saya pertanyakan mengenai definisi anti-hero yang melekat pada filmnya.
Sisa dari pengembangan cerita ini adalah gempuran CGI yang membuat sebuah pertempuran menyenangkan di layar, mulai dari kebut-kebutan di jalan raya hingga pertempuran final yang dinantikan. Venom boleh saja mempunyai sekuen yang diinginkan penonton, meski ditilik dari segi teknis, naskahnya amat kosong melompong dan penuh akan sebuah krisis identitas yang diterapkan filmnya.
Ya, sutradara Rubern Fleischer (Zombieland, Gangster Squad) bak kelabakan menangani jati diri filmnya. Kita melihat sebuah aksi pertempuran, studi karakter dengan bumbu body horror hingga sentuhan buddy comedy yang menjadi salah satu aspek terbaiknya kala Eddie yang ditempeli Symbiote Venom di dalam tubuhnya menghasilkan sebuah interaksi yang cukup menyenangkan, misalnya perihal membubuh seseorang atau mengatakan perasaan.
Ya, meski tak semuanya berjalan mulus, aspek buddy comedy perlahan terkikis habis karena kurangnya daya pula sokongan yang kuat, walaupun demikian, Tom Hardy mampu tampil prima di tengah bobroknya naskah yang membawanya pada sebuah adegan komikal sekalipun. Saya tahu, Hardy punya banyak kharisma, namun sulit untuk menyangkal bahwa ranah komedi bukanlah sebuah hal yang patut diembamnya.
Alhasil, selama durasi bergulir adalah sebuah kekosongan alur yang hanya mengeksploitasi sebuah hiburan belaka. Entah ini adalah ekspetasi saya yang terlampau tinggi atau bentuk kebingungan penulisnya? Yang jelas, Venom adalah bentuk rendahan dari plot generik yang kerap menempel pada film superhero kebanyakan yang mempunyai kompas moral sekalipun. Sungguh sebuah hal yang sangat disayangkan.
SCORE : 2/5
0 Komentar