Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

OVERLORD (2018)

Overlord membuka opening sequence-nya dengan pemandangan khas film Saving Private Ryan (1998) di mana pemandangan berupa para prajurit yang tengah berada dalam pesawat, berpacu dengan tugas sembari dihentak perasaan tak karuan, terdapat beberapa pemanadangan lain berupa peperangan udara hingga bom peledak siap sedia menanti. Meskipun sangat familiar, nuansa klaustrofobia tersebut mampu di garap begitu apik oleh sutradara Julius Avery (Son of a Gun) dengan sebuah intensitas yang memadahi kala para prajurit dikirim untuk menghancurkan menara radio di Jerman demi membuka jalan bagi pasukan sekutu dalam invasi Normandy, yang kita kenal dengan D-Day itu.

Protagonis kita adalah Boyce (Jovan Adepo) sang prajurit yang bertugas memiliki kompas moral. Boyce adalah tipikal orang penyayang, ia sama sekali benci dengan peperangan. Di sebuah pembicaraan, Boyce bahkan tak sanggup membunuh tikus, apalagi manusia. Sebuah pesan anti-peperangan yang gagal tersaji kala naskahnya mengajak kita untuk bersenang-senang pada paruh kedua, mengenyahkan hal itu, justru sang Kopral Ford (Wyatt Russell) lah sang antihero yang sangat saya senangi untuk disimak.
Pesawat yang mereka tumpangi harus meledak di perjalanan, para prajurit yang tersisa terpaksa bersembunyi di rumah Chloe (Mathilde Olivier), yang tinggal di sebuah desa yang dikuasai pasukan Nazi, Jerman. Pasukan Nazi memperlakukan mereka sesuka hati. Mudah untuk menduga bahwa Chloe adalah sosok yang akan menuntun para prajurit melancarkan misi, pun di pertengahan misi tersebut kita diajak untuk menengok rumah Chloe yang tinggal bersama sang adik pula bibinya yang terjangkit penyakit misterius.
Melaju dari durasi lebih 45 menit, Overlord mulai membuka tabir rahasia yang gagal tersaji sedemikian mengikat layaknya film buatan sang produser, J.J. Abrams. Ketiadaan sebuah "kotak misteri" yang gagal tersaji mengukuhkan misterinya tersaji prematur. Pun menengok dari trailer-nya pun kita tahu betul film ini akan memasukan nuansa body horror yang menjual kengerian pula keseraman.
Ya, betul. Nuansa horror berbalut fiksi ini tersaji sedemikian menyenangkan. Menyenangkan ketika melihat para zombie yang merupakan korban eksperimen ini tampil, sosoknya begitu menarik, terlebih tampilannya yang beragam. Ada sosok zombie dengan tulang keluar pula sang antagonis yang memiliki wajah tak sempurna (diperankan  Pilou Asbæk). Hingga kala memulai sebuah aksi kita pun turut larut dalam suasana, sejenak melupakan naskah tulisan Billy Ray (The Hunger Games, Captain Philips) dan Mark L. Smith (The Revenant) yang formulaik dan tipis itu.

Walaupun demikian, unsur hiburan jelas di dapat. Namun, menilik lebih Overlord adalah sajian yang terlampau sering dipakai yang membuat penonton bergantung penuh pada sekuen aksi yang tampil gahar dan memuaskan mata. Imbasnya, kala filmnya beristirahat sejenak, tensi yang dimiliki Overlord seketika runtuh. 

Overlord penuh akan balutan b-movie yang tersaji cukup menyenangkan. Beberapa kali saya terperanjat kala sekuen aksi pula penekanan terhadap gore-nya yang sedemikian apik. Namun kembali lagi ke awal, eksekusinya kala mulai bercerita terasa pelan dan tersentak-sentak. Ini adalah tipikal film hiburan yang menyenangkan dan dapat sedemikian cepat kita melupakannya.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar