(REVIEW ini mengandung SPOILER)
Dalam sebuah adegan, Rangga Almahendra (Rio Dewanto) melontarkan sebuah dialog "tapi kamu kesampingkan perasaan suami kamu sendiri sampai kamu melupakan tugas utama kamu sebagai seorang istri" sementara Hanum Salsabiela (Acha Septriasa) hanya bisa memandang wajah sang suami sembari membela diri terhadap sebuah ambisi. Dari sini, Hanum & Rangga: Faith & the City melontarkan sebuah konflik yang tampil begitu meyakinkan mengenai sebuah gender role, apalagi Hanum adalah seorang wanita yang patut dan taat terhadap suami dihadapkan pada sebuah ambisi terhadap mimpi. Pula menarik kala di saat bersamaan situasi ini dapat menimbulkan sebuah korelasi yang mendalam mengenai kesetaraan gender atau ketakutan batin seorang suami terhadap istri. Sekali lagi, naskah garapan Benni Setiawan (Insya Allah Sah!) yang turut merangkap sebagai sutradara di bantu sang penulis asli novel Faith & the City, Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra lalai memanfaatkan potensi di atas, dan terjerambab pada sebuah cara penggampangan yang tak masuk di ranah logika.
Melanjutkan guliran pengisahannya dari Bulan Terbelah di Langit Amerika, Hanum dan Rangga yang hendak berangkat ke Vienna dikejutkan dengan kedatangan Sam (Alex Abbad) yang membawa perintah dari Andy Cooper (Arifin Putra) untuk menawari Hanum bekerja magang sebagai reporter di stasiun televisi GNTV New York. Hanum yang dilanda kebingungan menolak karena sudah terlanjur berjanji kepada sang suami. Hingga akhirnya Rangga memutuskan untuk memperpanjang jangka waktu tinggalnya di Amerika demi memenuhi impian sang istri. Bekerja bersama Andy Cooper yang merupakan idola Hanum sedari kecil menghantarkan Hanum pada sebuah situasi yang pelik, terlebih ia selalu sibuk dan secara tak langsung mengesampingkan perannya sebagai seorang istri.
Pasca dua instalemen Bulan Terbelah di Langit Amerika yang menghantarkan sebuah narasi yang paling menggampangkan pula tak masuk ranah logika, seri ini justru butuh sebuah penyegaran. Kinu hadir Hanum & Rangga: Faith & the City yang membawa sebuah pembaruan (baik di segi produksi, sutradara, penulis naskah, hingga perombakan pemain) yang masih bermain dengan sebuah pertanyaan "would the world will be better without Islam?" sejatinya merupakan sebuah pertanyaan yang menggiurkan guna dijawab secara terperinci. Namun apa daya, semuanya sulit terlaksana karena ia hanya berjalan di permukaan, tak mempunyai sebuah kedalaman yang signifikan.
Seperti yang telah saya singgung di atas, film ini memiliki sebuah substansi yang kuat dalam membuka pandangan dunia terhadap Islam yang masih saja dianggap sebelah mata. Pun menilik tujuan filmnya pun demikian. Namun sedari menit awal bergulir, pertanyaan tersebut urung untuk diterapkan bahkan di galai di dalam elemen pengisahan. Memilih untuk mengabaikan dan mengkhianati judul filmnya yang mencantumkan kata "faith". Hanum & Rangga: Faith & the City terjerambab ke dalam sebuah pola penggampangan khas FTV.
Padahal, dalam tatanan ceritanya saya suka bagaimana Benni Setiawan membenturkan perihal sebuah peran istri terhadap suami. Hanum memang sebuah gambaran dari kalimat "women empowerment" yang berjasa karena membuka pandangan dunia terhadap Islam di film sebelumnya, pula ketaatan akan agama dan suami tercinta. Hingga kala salah satu tatanan tersebut mulai goyah, bagaimana cara memperbaikinya?
Benni Setiawan kebingungan dengan setumpuk pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban yang pasti. Hingga ceritanya sendiri kelimpungan untuk menyusun arah film ini, di masukanlah elemen khas FTV, berupa kecemburuan Hanum terhadap Rangga kala sebuah pesan menampilkan Rangga tengah berbincang bersama Azzima Hussein (Titi Kamal). Come on, Hanum adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi, masa iya ia begitu mudah untuk tersulut api cemburu oleh sebuah pesan yang tak jelas, terlebih Hanum merupakan sahabat dekat Azzima Hussein. Dari sini, saya mulai pasrah hingga akhirnya mulai menyerah.
(Spoiler start here) Konklusinya menampilkan Hanum yang meliput acara live demi membahas kejadian peringatan 9/11 memnbawa Azzima Hussein beserta Philipus Brown (Timo Scheneumann) narasumber utamanya yang berujung pada sebuah pembukaan aib seorang Andy Cooper yang lebih mengutamakan rating tanpa memperhatikan perasaan seseorang. Terlebih lagi pemecatan Andy karena 70% saham GNTV telah di beli oleh Philipus. Kita tahu di film sebelumnya, Hanum mengukuhkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil' alamin (rahmat bagi seluruh alam), menilik fakta pembukaan aib dalam siaran live jelas bertentangan dengan etika yang diajarkan agama Islam sendiri. Ini bukannya membuka pandangan Islam terhadap dunia, melainkan turut kembali mencoreng, terlebih ini adalah siaran di Amerika Serikat, yang notabene-nya merupakan negara digdaya dan tengah sensitif dengan isu SARA. Entah disengaja atau tidak, ini membuktikan ketidakpekaan para pembuatnya.
SCORE : 2/5
0 Komentar