Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

GENERASI MICIN (2018)

Jika berbicara mengenai hiburan, Generasi Micin adalah tontonan yang tak lelah untuk mengendurkan saraf tawa. Beragam aspek dibuat begitu lucu guna mengundang tawa yang berlebih. Namun, naskah garapan Faza Meonk (Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir) tak ingin menjadikan Generasi Micin hanya sebatas tontonan hiburan sambil lalu. Ada unsur antargenerasi yang coba di sampaikan, terlebih korelasi antar generasi masa lalu dengan masa kini, yang kita sebut dengan generasi micin. Generasi milenial yang acap kali disebut generasi micin hanya menyukai hal yang serba instan tanpa perlu memikirkan sulitnya sebuah perjuangan.

Dalam Generasi Micin, pertama kita diajak melihat Anggara muda (Brandon Salim) seorang keturunan Cina masa lalu, menghabiskan seluruh hidupnya untuk bekerja keras dalam berdagang. Kemudian, kita diajak untuk melihat Anggara tua (diperankan oleh Ferry Salim) yang menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko besar di Pantai Indah Kapuk yang seiring lahirnya Kevin (Kevin Anggara) mimpi itu tak kunjung terlaksana. Kevin kerap di panggil generasi micin karena keengganannya untuk bersosialisasi dan memilih berkutat di depan komputer guna bermain game. Singkatnya ia menyukai hal yang serba instan.
Di sisi lain, hadir Trisno (Morgan Oey) generasi pasca reformasi yang merujuk pada salah satu dialog adalah kebalikan dari Kevin, si generasi micin yang menyukai hal yang praktis nan cepat, Trisno cenderung lambat. Itu pula yang membuatnya mengubur mimpi untuk menjadi seorang penyanyi terkenal, memilih untuk diam di rumah dan membantu berdagang. Kedua komparasi ini jelas berlawanan, -namun sutradara Fajar Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus Langit) bak kebingungan menampilkan kedua sudut pandang ini.
Generasi Micin adalah adaptasi dari buku karangan Kevin Anggara sendiri yang bertajuk Generasi Micin vs Kevin yang menyimpan setumpuk permasalahan generasi milenial yang menurut generasi sebelumnya adalah sebuah penurunan besar. Pun ini dapat dimengerti, karena kondisi tersebut sedari dulu memang berulang tampil. Sebab, apa pun generasinya, di usia muda mereka hanya ingin bersenang-senang sama seperti yang Kevin lakukan bersama sang sahabat yang terdiri dari: Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-pop, Bonbon (Teuku Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) si gadis keturunan Batak yang melakukan beragam kejahilan-kejahilan di sekolah guna memenuhi tantangan dari sebuah situs misterius.
Dalam tampil untuk bersenang-senang, Fajar Nugros memang tak tanggung-tanggung menampilkan sebuah sekuen pengocok perut. Itu pula yang membuat Generasi Micin penuh akan semangat jiwa muda dengan beragam kultur populer miliknya. Pun sentilan berupa ucapan Kevin yang kerap berbicara cepat bak berondongan peluru menimbulkan sisi komedik tersendiri, juga secara tak langsung menandakan bahwa ia adalah generasi micin yang serba cepat pula instan dalam bertindak.
Pun, tak sedikit pula yang menganggap Kevin sebagai siswa yang enggan untuk serius, termasuk Chelsea (Clairine Clay) sang pujaan hati. Ini sejatinya dapat menimbulkan sebuah kontradiksi yang berpotensi tampil meyakinkan karena melibatkan perasaan pula hati. Namun, sekali lagi penyutradaraan Fajar Nugros bak sebuah masakan yang penuh dengan micin, terasa lezat namun sejatinya kurang bergizi.
Itu pula yang menandakan keseluruhan dari Generasi Micin, yang mempunyai tontonan yang lezat nan disukai namun tak memiliki gizi lebih, dalam artian serba instan. Apa yang ingin di sampaikan filmnya terkait antargenerasi tak pernah sampai pada sebuah taji yang cukup guna merangkum pula membawa pesan tersebut. Ia hanya sebatas tampil, memberi kesenangan, dan hilang begitu saja, persis seperti micin.
Padahal, beberapa humornya mampu menimbulkan tawa dan satir tersendiri jika ditelisik lebih. Contohnya adalah ibu dari Dimas (Cici Tegal) sang pecinta drama Korea yang memakai jilbab tapi sering meninggalkan sholat. Ini pun dirasa selaras dengan kenyataan.
Sisi positif dari generasi micin adalah menguasai internet yang dapat menggunakannya dalam kebaikan. Pun, itupun yang digunakan sebagai resolusinya. Hanya sebatas itu tanpa ada elaborasi lebih lanjut. Hingga filmnya pun ditutup oleh sebuah epilog panjang tanpa ada komparasi terkait kejelasan tadi. Sama persis seperti micin, yang memberi kelezatan sementara.
SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar