Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

I WANT TO EAT YOUR PANCREAS (2018)

Sebelumnya, I Want to Eat Your Pancreas yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Yoru Sumino telah lebih dahulu diterjemahkan dalam bentuk live-action dengan judul Let Me Eat Your Pancreas (2017). Saya memang belum menonton versi live-action-nya, tetapi dengan menikmati I Want to Eat Your Pancreas adalah sebuah sensasi yang tak sanggup untuk saya menahan air mata. Ya, saya memang tak kuasa menahan tangis kala menikmati tontonan bittersweet dramatis macam ini. Dan melalui hal itu, I Want to Eat Your Pancreas adalah sebuah tontonan yang dengan senang hati saya tangisi jikalau filmnya mampu menghilangkan unsur "sensual" yang tampil melengkapi romantika manis pula dramatis ini.

Protagonis utama filmnya tampil tanpa nama, let's call it, Aku (Mahiro Takasugi). Seorang antisosial yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk membaca novel ketimbang berinteraksi dengan dunia luar. Menurutnya, dunia dalam novel lebih menarik ketimbang dunia aslinya, serta menjauh dengan teman-teman sekelasnya karena berasumsi, mereka tak akan mau berteman bahkan bergaul dengan orang membosankan seperti dirinya. Hingga Sakura Yamauchi (Lynn) masuk ke dalam dirinya, seorang wanita ceria nan populer. Berbanding terbalik dengan dirinya.
Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah rumah sakit, kala Aku tak sengaja menemukan dan membaca sebuah buku diary yang berisi mengenai catatan penyakit. Bisa ditebak, itu adalah buku milik Sakura. Setelah interaksi serta impresi dingin pada pertemuan pertama mereka, perlahan tapi pasti, Aku dan Sakura mulai menjalin kedekatan, menghabiskan waktu bersama dan turut mengubah pandangan Aku terhadap hidup.
Saya begitu amat menyukai interaksi antara Aku dengan Sakura. Aku lebih serius, dan sakura penuh dengan semangat pula keceriaan. Termasuk pula kala ia membicarakan "mati" seolah hal biasa. Bagi Sakura, semua orang akan mati, termasuk yang sehat sekalipun. Ini mengukuhkan pandangan cerita yang menganggap kematian adalah sebuah kepastian. Bisa terjadi kapan pun dan tanpa di duga sekalipun.
  
Shin'ichirô Ushijima selaku penulis naskah yang turut pula merangkap sebagai sutradara menjadikan unteraksi keduanya sebagai sebuah observasi yang turut berdampak pada karakternya. Perlahan, semenjak menghabiskan waktu bersama Sakura, Aku mulai membuka pikiran positif terhadap hidup, di mana ini bukan berdasarkan seseorang, namun melalui pembelajaran yang turut di salurkan oleh pemikiran seorang Sakura. Ini pula yang menguatkan sebuah moral value yang hendak filmnya sampaikan.

Sayangnya, seperti yang telah saya singgung di atas, sandungan berupa tensi "sensual" mengganggu lajur utama penceritaan. Di mana ini seperti "pria kesepian" yang mewujudkan "mimpi basah" milikinya. Pun menilik pada salah satu adegan yang semula berawal dari lelucon belaka yang kemudian masuk ke ranah sensual, dengan mudahnya karakter dalam film ini memaafkan hal tersebut. Padahal menilik sisi psikologis, tentu ini dapat menimbulkan sebuah trauma tersendiri.

Untungnya fase itu tampil dalam sekejap kala Shin'ichirô Ushijima kembali menampilkan sebuah titik balik filmnya yang masuk ke ranah dramatisasi yang tak hanya mampu menyulut air mata melainkan mampu menampilkan sebuah pesan tersendiri mengenai rumus dunia pula nilai kehidupan. Saya tersentuh, terdiam, mengangguk dan menyeka air mata kala monolog digulirkan oleh Aku. Meskipun terasa panjang, menilik pencapain pula imprsi pasca menontonnya, I Want to Eat Your Pancreas adalah sebuah tontonan yang patut untuk di saksikan meski tak sepenuhnya berjalan sempurna, namun memiliki makna yang layak untuk dicoba.

SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar