Memang benar untuk membuat niatan sebuh film bagus layak untuk
diapresiasi, termasuk jika ia memilih membuat sebuah konsep yang menarik
terlepas dari apa genre yang akan ia usung. Tapi semua itu tak lepas
pada sebuah tataran eksekusi, apabila eksekusi yang dihasilkannya buruk
memang terasa percuma. Semua itu tak lepas juga dari realisasi konsep
yang sangat bergantung pada penulis
naskah dan sutradara. Penulis naskah harus bisa mengembangkan ide dasar,
sedangkan sutradara bertugas menarasikan lembar-lembar naskah ke dalam
bentuk visual. Tanpa kualitas memadahi dari kedua belah pihak, premis
sebagus apapun bisa jadi hancur lebur. Hal demikian terjadi pada "Air
Terjun Bukit Perawan" yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan
Rudiyant.
Marjuki (Dallas Pratama) pergi dari kota ke sebuah
desa untuk menemui sang kekasih, Tina (Adelia Rasya) yang hilang tanpa
kabar, dan menghiraukan sebuah kabar yang ia berikan lewat telepon, SMS
dan BBM. Bersama teman kampusnya, Maria (Kadhita Ayu), Nasrul (Andi
Marshadi) Vivi (Deyra Dey), Aryo (Bruce Liu) serta Shireen (Amelly
Latisha) mereka kemudian memutuskan untuk camping sembari menikmati
indahnya alam. Hal aneh pun terjadi pada mereka setelah mereka
menghabiskan waktu di sebuah air terjun di bukit perawan.
Dilihat dari posternya, sangat mudah untuk menghakimi bahwa "Air Terjun
Bukit Perawan" tak lebih dai sekedar film horor yang mengumbar keseksian
serta sensualitas para pemain. Memang unsur sensualitas ada disini,
tatkala mereka menghabiskan watu di air terjun yang hanya berbekal
celana pendek dan bikini yang dibalut baju yang menerawang, namun
mengumbar sensualitas pemain sejatinya tak mengganggu dan tak haram pula
dalam aturan sebuah film dan yang mengejutkan "Air Terjun Bukit
Perawan" bukanlah sebuah film horor, melainkan sebuah film thriller
dengan balutan twist yang mungkin bisa dibilang bukan original.
Alur yang ia paparkan mungkin cenderung lambat dan digunakan
sebagai upaya untuk mengenalkan penonton dengan karakter sembari bermain
drama lewat karakter Tina yang seorang gadis kampung yang mengembam
masalah terkait orang tuanya, kemudian film beranjak pada sebuah adegan
yang menampilkan para mahasiswa tadi yang menghabiskan waktu di sebuah
air terjun sembari camping. Dan disinilah trik mulai dilakukukan oleh
Luri G Wara yang mungkin membuat penonton seolah tertipu karena ia
membelokkan alur dan cukup sukses memainkan ekspetasi penonton. Tapi
sisi positif yang ia lakukan hanya berakhir pada paruh awal saja.
Niatnya memang bagus, berupaya mengemas sebuah konsep thriller dengan
balutan drama berisikan teka-teki. Sayang, paparan konsep itu harus
berakhir disitu saja tatkala sutradara dan penulis naskah Thereshia
Hwang dan juga Rudiyant kurang mampu untuk menarasikan naskah, yang
kemudian menghasilkan sebuah paparan misteri yang terasa kendor dan juga
lompatan adegan yang acap kali terjadi.
Semua itu kemudian
diperparah tatkala momen untuk membuat penonton klik dengan karakter
yang seharusnya terjadi malah urung terjadi. Itu disebabkan oleh
lompatan adegan yang memamg kurang padu, ditambah dialog yang terdengar
aneh dan menggelikan, terutama menjelang ending seperti hadirnya dialog
"hantu kok naek angkot" hingga yang paling mengganggu adalah penggunaan
alur flashback yang ditampilkan penuh disini, memang alur flashback
cukup membantu untuk membuat cerita kian lengkap namun tak harus juga
ditampilkan penuh dari awal, itu yang setidaknya menambah rasa jemu dan
bosan kian meningkat, apalagi setelah twist ending yang kian dipaksakan
hadir oleh karakter Jalal (Rudiyant) yang makin kesini terasa aneh dan
menggelikan, alhasil apa yang dilakukan sejak awal tadi berakhir hambar
tanpa adanya sebuah esensi yang kuat. Air Terjun Bukit Perawan memang
berpotensi pintar dan memikat, namun apa yang dihasilkan oleh Luri G
Wara ini terkesan berambisi untuk menjadi sebuah film berkelok namun
eksekusi yang ia hasilkan justru tak berhasil dan membuat semua cerita
terlihat kaku dan menjemukan.
0 Komentar