Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PEAK SEASON (JWC 2024)

 

Sederhananya, Peak Season membicarakan sebuah pertemuan dalam kehidupan. Semuanya berawal ketika Amy (Claudia Restrepo) diboyong oleh tunangannya, Max (Ben Coleman) untuk sebuah liburan ke Jackson Hall, Wyoming demi menghirup udara segar sebelum nantinya disibukkan oleh persiapan pernikahan. Amy yang semula tak semangat pasca sebuah pekerjaan dari sebuah klien yang membosankan menganggap tujuannya kali ini tak lebih dari sekedar persiapan menuju keruwetan pernikahan. Hal itu jelas tergurat di raut wajahnya yang datar.

Pun, demikian dengan Max yang lebih mementingkan pekerjaan sebagai pria rantai pasokan yang stereotif, karena menurutnya ia tak bisa hidup atau mengabaikan pekerjaan. Puncaknya ketika Max terpaksa harus kembali ke New York selama dua hari untuk urusan pekerjaan, sementara Amy mencoba untuk meluangkan waktunya sendirian.

Sampai kelas memancing yang dicanangkan mempertemukannya dengan Loren (Derrick Joseph DeBlasis) sang instruktur yang hidup secara bebas di mobil miliknya bersama sang anjing peliharaan, Dorothy membuka pandangan baru bagi Amy akan kehidupan bersama alam, di tengah kenyamaan keduanya yang perlahan tergerus oleh keadaan yang sukar untuk diungkapkan.

Dari sinilah naskah buatan Steven Kanter bersama Henry Loevner (The End of Us) bertransformasi menjadi sebuah sajian sarat keintiman dalam balutan obrolan sederhana namun memiliki makna. Singkatnya, Peak Season mendekat ke arah trilogi Before-nya Linklater dalam versi yang lebih sederhana daripada dugaannya, meskipun sederhana disini bersifat bias.

Seiring pertemuan antara Amy dan Loren, kita hanya sebatas mengintip petualangan mereka mulai dari pertunjukan rodeo hingga pendakian singkat namun meninggalkan sebuah jejak perasaan bagi keduanya. Kanter dan Loevner memang tak memberikan sebuah perubahan signifikan bagi Peak Season di permukaan, namun mereka piawai menciptakan sebuah kedalaman berbekal interaksi kasual.

Ia pun tak mengutak-atik formula romansa dan membiarkan filmnya berjalan sebagaimana mestinya. Singkatnya, demikianlah kehidupan berjalan, terkadang kita hanya perlu menerima tanpa pernah memaksa apa yang bukan milik kita. Peak Season kurang lebih adalah analogi kehidupan itu sendiri, entah itu menurut visi sang sutradara maupun dampak yang dihasilkan sesudahnya.

Tentu, film yang mengandalkan obrolan membutuhkan para pemain yang mampu menyulap dialog sederhana menjadi penuh makna, Restrepo dan DeBlasis merangkainya dengan begitu nyaman, chemistry keduanya menciptakan sebuah relasi dari manifestasi cinta itu sendiri, meski cinta di sini bermakna universal dan literal.

Berlangsung selama 82 menit, Peak Season terasa singkat dan padat tanpa pernah terasa membosankan, kepiawaian sang pembuat seolah membuktikan bahwa kesederhanaan lebih dari segalanya. Demikian pula dengan sebuah penerimaan dalam kehidupan, terkadang kita hanya perlu membuka mata dan menyadari bahwa setiap pertemuan selalu menciptakan sebuah perpisahan. Bukankah kehidupan tak jauh dari perkara meninggalkan atau ditinggalkan?

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar