Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - HEY, VIKTOR! (JWC 2024)

 

Smoke Signals (1998) menandai tonggak sejarah bagi sinema indie Amerika yang merepresentasikan segala keaslian (termasuk di dalamnya kru, penduduk, pemain serta karakter yang sangat Amerika). Itulah mengapa film besutan Chris Eyre amat dicintai sampai sekarang. Bangga akan pencapaian tersebut, Cody Lightning yang memerankan karakter Victor muda (versi dewasa diperankan oleh Adam Beach) merasa perlu melakukan sebuah terobosan dengan menampilkan sebuah mokumenter dalam menghadirkan terciptanya sebuah sekuel spiritual yang bertajuk Smoke Signals 2: Still Smoking.

Tentu, hal tersebut adalah sebuah aksi fiksi demi terciptanya cerita selepas 25 tahun lamanya. Cody yang masih berbangga dan selalu mengulang kaset VHS usangnya itu merasa bahwa dunia akan menganggapnya jika ia melakukan sebuah aksi nyata dari mimpinya. Kondisi seperti ini tentu sangat relevan dewasa ini, karena terkadang kita memimpikan kejayaan masa kecil ketika usia mulai perlahan menua dalam menjejaki realita yang tak seindah semestinya.

Dibantu sang manajer sekaligus sahabat masa SMA-nya, Kate (Hannah Cheesman), Cody mulai merealisasikan mimpi yang semula hanyalah angan, meski tak sedikit penolakan, intervensi bahkan bantahan yang menganggap bahwa dirinya tak jauh dari seorang pria gila yang kehilangan kepopuleran masa kecilnya. "Victor hanyalah latar belakang cerita, bukan pemeran utama", demikian ujar salah satu teman.

Memerankan versi fiktif dari dirinya sendiri, Hey, Viktor! adalah ajang bersenang-senang seorang Cody Lightning yang turut menyutradarai sekaligus menulis naskah (bersama Samuel Miller), kentara dalam setiap adegan, baik Cody si pemain atau Cody si sutradara bak melahirkan dan mengulang masa kejayaan yang sangat ia rindukan, itulah mengapa filmnya terasa personal, karena ia tak sebatas merangkai adegan namun turut memberikan perhatian dan perasaan.

Terlepas setuju atau tidaknya dengan apa yang ditampilkan, Hey, Viktor! menampilkan perjuangan seorang bintang yang mencari pancaran sinarnya di tengah kebingungan akan identitas dan masa depan. Terlebih, Cody baru saja ditinggalkan oleh sang istri dan kedua anaknya karena memilih pemain yang lebih muda dan bergelimang harta, sementara dirinya sempat bermain di film porno gay bahkan mengalami perundungan sosial.

Paruh pertama Hey, Viktor! menampilkan perasaan itu secara perlahan tapi pasti, meski sangat disayangkan ketika memasuki babak pertengahan, filmnya sempat goyah karena terlalu berlarut dalam menyoroti sifat Cody yang egoistis, yang sering melakukan aktivitas tak penting dan menghamburkan uang produksi dalam upaya merayakan selebrasi. Dari titik ini, sukar untuk memberikan simpati pada karakternya yang terjebak pada stagnansi sarat repetisi.

Itulah mengapa ketika memasuki konklusi, transisi yang dihasilkan oleh Hey, Viktor! terasa kurang mengena, karena penonton dipaksa untuk menerima dan memaafkan segala kesalahan Cody ditengah filmnya yang melakukan jalan curang dengan beralih menampilkan sebuah drama yang persentasinya cukup mengena, meski meninggalkan beberapa pekerjaan rumah yang seharusnya bisa ditangani.

Dari sini juga kehangatan pula rasa nostalgia bertemu dengan pemain lama (beberapa diantaranya mengulang peran yang sama dalam versi lebih dewasa) dari Smoke Signals, kredit lebih patut diberikan kepada Simon Baker yang sumbangsih menambahkan bobot bagi sebuah rekonsiliasi, yang merupakan nyawa bagi pendahulunya.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar