Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PARA BETINA PENGIKUT IBLIS: PART 2

 


Jika mengingat Para Betina Pengikut Iblis, pikiran akan langsung tertuju pada sebuah lemari pendingin di sebuah desa yang belum terkoneksi listrik. Cacat logika pada film pertama mungkin sukar untuk dihilangkan, terlebih alih-alih memberikan suguhan sensasional layaknya judul yang ia terapkan, filmnya malah melakukan aksi salah kaprah terhadap sub-genre horror jagal.

Benar. Kadar kekerasan pada film pertama tergolong berani untuk ukuran film horror lokal, namun kenikmatannya sukar untuk didapatkan karena sang sutradara (baca: Rako Prijanto) sebatas memamerkan aksi jeroan dan melupakan prosesnya yang merupakan inti dari genre filmnya sendiri.

Melanjutkan cerita di film pertama ketika ketiga para betina pengikut iblis saling berhadapan, Sumi (Mawar de Jongh) masih dihantui kesalahannya dalam membunuh sang ayah, Karto (Derry Oktami), Sari (Hanggini) mulai mengetahui jati diri pembunuh sang adik, sementara Asih (Sara Fajira), yang kini berparas muda masih tergila-gila akan Karto. Konflik ketiga karakter ini saling berhubungan satu sama lain, membuat sebuah lingkaran setan yang saling bersinggungan.

Ya, bisikan dan tipu daya Iblis (Adipati Dolken) masih menghantui tindak-tanduk mereka yang semakin terperosok ke dalam jurang kesesatan. Di waktu bersamaan, hadirlah Ahmad (Gusti Rayhan), adik Sumi yang dahulu hilang kini kembali menyebarkan kebajikan di desa Potrosaran atas wejangan dan ilmu yang ia dapat dari Kiai Taqim (Iyang Darmawan).

Ketimbang film pertama, Para Betina Pengikut Iblis: Part 2 mungkin sedikit rapi dalam segi penceritaan, karena konflik utama perlahan mulai tersibak dengan sentral cerita yang kebanyakan berfokus pada Asih. Meskipun begitu, filmnya masih menerapkan pengadeganan khas film pertama di mana segala konflik dan rentetan kejadian tersusun atas sebuah kesengajaan memenuhi estetika film horror tahun 80-an.

Para Betina Pengikut Iblis: Part 2 setidaknya masih memberikan sebuah hiburan lewat performa para pelakonnya yang menggila dengan semangat over-the-top yang menanggalkan logika dalam mencernanya. Entah ini bentuk sebuah evolusi dari para pembuatnya atau suguhan sebatas menampilkan keseruan guna mewadahi sebuah spektakel? Entahlah. Semuanya terasa ambigu, hanya Rako Prijanto dan Anggoro Saronto (penulis naskah) yang mengetahuinya.

Di sisi lain evolusi semacam itu mencipatkan sebuah lubang yang menganga (utamanya dari segi logika) yang nihil sebuah kontribusi. Sebutlah kemunculan wabah zombie yang menciptakan sebuah kebingungan atas komparasi setting filmnya sendiri. Para pembuatnya mungkin berpikiran asalkan seru dan menggila, meski mereka lupa akan sebuah substansi dalam penerapannya.

Konklusinya pun berakhir serba canggung, seolah filmnya kehabisan durasi (atau penceritaan) dan dipaksa untuk segera berakhir lewat sebuah sekuen yang niatnya menghadirkan aksi kebajikan dengan kejahatan yang nihil dam[pak signifikan, terlebih ketika filmnya ditutup dengan sebuah akhiran yang menyiratkan sebuah kelanjutan. Mohon maaf, saya belum siap untuk menerima sebuah penderitaan dalam kejadian yang dilipatgandakan.

SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar