Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - BROS

 

Bros secara terang-terangan menyatakan bahwa ia bersatus sebagai film queer pertama yang berada pada arus utama (selain fakta bahwa filmnya dibuat oleh studio besar) yang dengan senang hati mengolok-olok persepsi kebanyakan film serupa disutradarai oleh seorang heteroseksual. Komedi situasi bernada serupa terasa begitu nyata di saat filmnya menelanjangi segala stigma yang melekat pada orang homoseksual (atau dalam konteks ini LGBTQ+).

Billy Eichner berperan sebagai Bobby, pria yang tengah memasuki usia kepala empat yang menolak percaya pada sebuah komitmen. Berstatus sebagai seorang pembawa siniar dengan gelar Best Cis Male Gay, Bobby tetap kukuh pada pendiriannya yang terbiasa hidup sendiri memperjuangkan segala mimpinya, termasuk membangun sebuah museum LGBTQ pertama di Manhattan yang tengah ia kerjakan bersama rekan sesama komunitasnya.

Hingga ketika Henry (Guy Branum) memintanya untuk menghadiri sebuah pesta peluncuran Datting Apps, pandangan Bobby tertuju pada seorang pria yang mengenakan topi dan bertubuh kekar tengah menari di lantai dansa. Menolak untuk tertarik karena menurutnya pria gay begitu membosankan, perlahan tapi pasti, Bobby mulai berkenalan dengan Aaron (Luke Macfarlane) lewat obrolan kasual yang semakin mengukuhkan pendapatnya begitu nyata.

Kita tahu nantinya naskah buatan Eichner bersama sang sutradara, Nicholas Stoller (Neighbors, Neighbors: Sororrity Rising, Storks) akan membuatnya bersatu dalam lingkup relasi love/hate yang sering terjadi. Harus diakui, naskahnya tak memberikan sebuah terobosan baru selain berkutat pada alur romansa arus utama yang digantikan oleh pasangan gay sebagai sentralnya.

Ambisius. Demikian kata yang mewakili keseluruhan Bros yang ingin mengenalkan segala budaya komunitasnya secara universal, kadang kala filmnya tampil terlalu prestisius dan melupakan jati dirinya sebagai sajian romansa khas popcorn-movie yang seharusnya ringan untuk dinikmati. 

Beruntung, ritme filmnya masih tetap terjaga berkat chemistry Eichner-Macfarlane yang luwes dalam menghadirkan sebuah romantika dewasa yang kadangkala terasa kekanakan. Satu hal yang pasti, perbedaan sifat keduanya menghasilkan sebuah banter yang menarik untuk disimak, terutama Eichner dengan berondongan kata yang acapkali memekak telinga selalu menjadi senjata utama Bobby dalam usaha menarik perhatian Aaron.

Paruh ketiga Bros seharusnya menjadi penutup yang manis jika tak tampil terburu-buru dalam merealisasikan mimpi Bobby dalam segala keruwetan yang kukuh menilai bahwa Abraham Lincoln adalah seorang gay. Momen yang sempat menjadi kontroversi para pendirinya ini berakhir sia-sia akibat ketiadaan urgensi yang sebatas memantik konflik tanpa memberikan sebuah penafsiran selain terlalu cerewet dalam menyuapi penonton.

Ya, Bros memang terlampau cerewet dalam mengenalkan segala sejarah pula latar belakang komunitasnya. Pilihan yang dapat dipahami meski lantas tak dapat dibenarkan dalam segi filmis. Setidaknya, Bros mampu memberikan sebuah keberanian dalam usaha mensejajarkan yang meski tak sempurna, layak untuk diberikan perhatian sebagaimana mestinya.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar