Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - MUNKAR (2024)

 

Munkar dibuat berdasarkan urband legend asal Jawa Timur. Demikian keputusan latah yang kerap dieksploitasi oleh rumah produksi. Selain fakta bahwa hal tersebut sudah mampu menjual, tambahkan unsur religi yang sudah menjadi barang bukti manjur bagi skema perfilman horor lokal dewasa ini. Saya tak menyalahkan "aji mumpung" sebagai upaya untuk mengeruk pundi finansial, karena hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Tetapi, alangkah baiknya jika keputusan seperti itu diiringi pula dilengkapi keseriusan dalam menggarapnya, bukan hanya sebatas menjadikan sebuah karya sebagai produk asal jadi. Narasi tersebut menggambarkan keseluruhan Munkar.

Dinahkodai oleh Anggy Umbara yang terkenal produktif dalam menghasilkan sebuah karya, Munkar membuat saya ingin berbicara kepada sang sineas sembari duduk dan minum kopi, barangkali sang sutradara perlu memerlukan jeda sejenak dan memulihkan pikiran sembari memikirkan upaya kedepannya. Seolah melengakpi tiga horor sebelumnya (tanpa menyebut Jin & Jun karena lebih dekat ke komedi fantasi), Munkar melengkapi bukti nyata bahwa sang sineas perlu beristirahat melahirkan horor dengan kualitas dibawah rata-rata.

Bahkan, Munkar tak memiliki opening sequence yang mana merupakan aspek penting dalam menjaga atensi pula membangun urgensi, pasca sebuah pernyataan yang memenuhi layar, filmnya langsung mengikuti keseharian para santri di pondok pesantren Ar-Rahim. Dari sini, sudah tercium ketidakberesan yang saya sembunyikan di dalam hati, sembari berpikir positif untuk melanjutkan keseluruhan filmnya.

Ar-Rahim kedatangan santriwati baru, Herlina (Ratu Sofya) namanya. Namun, bukannya di sambut baik oleh para santri yang lain, kehadiran Herlina kerap mengusik para santri akibat kebiasaannya telat mengaji maupun melaksanakan salat subuh. Utamanya trio: Robiatul (Saskia Chadwick), Dilla (Aruma Khadijah) dan Siti (Kaneishia Yusuf) yang melabrak pula melakukan perundungan berdasar hal itu.

Kejadian itu membuat Herlina tidak betah untuk mondok, hanya Ranum (Adhisty Zara) yang memperlakukannya dengan baik. Hingga sebuah insiden terjadi yang turut membawa Herlina ke rumah sakit, kedatangannya kembali menandai sebuah teror yang menewaskan satu-persatu para pelaku perundungan secara mengenaskan.

Terkait teror, Munkar tampil repetitif dengan sepenuhnya mengandalkan ekspresi wajah Ratu Sofya yang tampil mengerikan lewat pembawaan pula bantuan riasan mumpuni. Sayang, hal tersebut semakin diulang yang alih-alih tampil seram, kehadirannya justru berujung melelahkan dan menjengkelkan, terutama ketika sang hantu kerap melakukan aksi teror yang sama dengan mengucapkan Assalamualaikum yang setelahnya diikuti calon korban. Sungguh sosok hantu yang menjunjung tinggi norma kesopanan.

Di tengah keputusan tersebut, timbul sebuah tanya terkait kehadiran Ranum yang nihil urgensi dan motivasi, saya tak menyalahkan performa Adhisty Zara yang profesional melakukan adegan. Kehadiran Ranum tak memiliki dampak bagi keseluruhan cerita yang bahkan karakternya dihilangkan pun cerita masih tetap bisa berjalan. Saya dapat menyimpulkan bahwa filmnya butuh kekuatan Adhisty Zara guna menarik pangsa. Sayang, sang aktris tak dimanfaatkan potensinya.

Ditulis naskahnya oleh Evelyn Afnilia (Keluarga Tak Kasat Mata, Janin, Pamali: Dusun Pocong), Munkar sempat melakukan kritisi terhadap para pemangku pondok pesantren yang abai akan keselamatan santri alih-alih mempertahankan reputasi. Sebuah kritik yang tenggelam seiring filmnya berjalan tanpa arah dan tujuan.

Sekalinya melakukan sebuah gebrakan, Munkar malah menampilkan salah satu adegan paling epik sepanjang sejarah perfilman horor Indonesia, mari kita sebut adegan tersebut sebagai "salat kilat" yang saking bagusnya sampai mengundang gelak tawa berlebih. Entah apa yang ada di pikiran para pembuatnya.

Menjelang konklusi, entah disengaja atau bukan (meski saya berpikir ini adalah bentuk ketidaksengajaan berbekal naskah yang lemah), Munkar seolah mendukung keberpihakan terhadap salah satu pelaku perundungan dengan memaksa penonton memberikan simpati terhadapnya. Sungguh inkonsistensi yang sangat berlawanan ketika filmnya mengusung pesan anti-bullying.

Ketimbang memberikan sebuah penebusan yang setimpal, penutupnya seolah ingin terlihat pintar dengan sengaja memaksakan sebuah twist yang mengundang sumpah serapah, terlebih kala mengisyaratkan sebuah teror yang tak berujung. Saya hanya bisa pasrah dan kemudian menyerah, sembari berujar "Assalamualaikum Zara, mari kita pulang."

SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar