Love Sex Aur Dhokha (2010) adalah sebuah konseptual seorang Dibakar Banerjee yang sensasional. Pada waktu itu, ia berani menyentil bahkan menampilkan sebuah pemandangan yang tak biasa di mana pengadeganannya mengikuti tiga kamera: kamera genggam, kamera rekaman serta kamera pengintai. Butuh waktu 14 tahun guna merealisasikan sekuelnya untuk mengikuti perkembangan masa kini, sebuah ironi antara realita dan maya yang terasa bias dewasa ini.
Mudah memang melakukan sebuah relevansi terhadap Gen Z yang akan terkoneksi (disamping pada kenyataannya terkontaminasi) oleh kultur budaya masa kini. Demikian tujuan utama Banerjee yang penuh ambisi dalam menyampaikan sebuah kritisi terhadap kebanyakan partisi (mungkin kita termasuk didalamnya secara tak sadarkan diri).
Hasilnya adalah sebuah anekdot yang mengaburkan batasan terhadap apa yang dilihat dan yang seharusnya dilihat dalam sebuah wadah kekejaman nan sopan bernama sosial media yang begitu dekat dengan kita. Tambahkan beberapa cinta, seksualitas serta pengkhianatan didalamnya, yang terkesan bak sebuah equalitas antara tindakan untuk menekan tombol like, share, and download (yang kemudian menjadi subjudul masing-masing segmen).
Love (alias Like) menyoroti sebuah acara reality show bernama Truth or Naach (Truth or Dance), yang bak perkawinan dari Big Boss dan Naach Baliye. Sebuah acara di mana peraturan layaknya truth or dare diterapkan secara halus, bedanya netizen turut menyimak dan mengomentari, selain fakta bahwa mereka adalah pemegang kendali seutuhnya.
Dikisahkan Noor (Paritosh Tiwari), seorang transpuan yang terobsesi untuk mendapatkan rating tinggi demi memenangkan pertandingan yang mengharuskan mereka berada di dalam maupun di luar ruangan secara berpasangan dengan kamera yang selalu mengintai. Penonton adalah sang pengamat setia untuk melihat segala tindak-tanduk yang terjadi, termasuk ketika sang produser turut melibatkan ibu Noor (Swaroopa Ghosh) yang masih belum menerima perubahan sang anak. Interaksi keduanya yang berlawanan menghadirkan sebuah tontonan ironis sekaligus tragis dibalik obsesi ketenaran yang menghalalkan segala cara dan mengalienisasi norma dan batasan diluar wajar.
Menarik memang menyaksikan segmen ini yang dibungkus secara ringan namun menghasilkan sebuah dampak yang signifikan dibalik sebuah pertentangan yang senantiasa menjadikan hiburan menyakitkan. Penutupnya memberikan hukuman yang setimpal meski Banerjee urung menjawabnya secara tegas akibat dorongan menghadirkan sebuah korelasi yang sama sekali tak berdampak secara kronologi.
Sex (alias Share) dibuka oleh sebuah rekaman amatir yang menampilkan korban pelecehan seksual di semak belukar. Korban tersebut adalah seorang transpuan bernama Kullu (Bonita Rajpurohit), seorang pekerja sanitasi di sebuah metro yang diperjuangkan haknya oleh sang atasan, Lovina (Swastika Mukherjee). Lovina membawa kasus sang pegawai ke pihak kepolisian yang malah menimbulkan perasaan transphobic di kalangan masyarakat. Situasi semakin pelik tatkala hasil visum membuktikan bahwa terdapat lima sperma berbeda dalam alat vital Kullu, yang mengindikasikan bahwa Kullu adalah seorang pekerja seks komersil.
Segmen Sex dibawa ke ranah yang lebih membingunkan disaat penonton diminta untuk turut mengikuti proses prosedural kepolisian serta rengganya Kullu dengan Lovina yang semakin runyam dibalik lunturnya krisis identitas kaum marjinal yang kian terpinggirkan. Sex mungkin tak memberikan sebuah pembenaran melainkan pemahaman atas nama kebutuhan bertahan hidup ditengah sulitnya kepercayaan bagi mereka yang dianggap berbeda. Komentar tersebut dijawab secara tegas oleh Banarjee dalam sebuah adegan singkat yang mengindikasikan adanya sebuah jurang terjal hak kepemilikan dan perusahaan yang mengalahkan kehidupan.
Dhokha (alias Download) adalah penutup yang paling ambisius. Kisahnya mengikuti seorang remaja pria berusia 18 tahun yang memakai username Game Pappi (Abhinav Singh), gamer yang haus akan popularitas hanya untuk dihancurkan hidupnya oleh sang followers dengan nama fullmoon, yang mengirimkan dukungan serta umpatan lewat meme dan video yang mengancam kehidupan, terlebih selepas video homoseksual sang kreator tersebar luas.
Mengedepankan pemakaian gaya streaming video game, Dhokha mungkin terasa dekat bagi mereka yang kerap memainkan permainan demi mencari sebuah kesenangan. Nantinya, penutup ini akan bersinggungan dengan santernya kabar kematian seorang bocah 12 tahun yang menghubungkan dua cerita sebelumnya yang tak berpengaruh sama sekali selain sebagai penanda linimasa yang dipaksakan kehadirannya. Walaupun demikian, Dhokha adalah sebuah penelanjangan ambisi sang sutradara dalam menampilkan dunia metaverse yang didalamnya terdapat kehidupan buatan yang menggantikan kenyataan.
Ditulis bersama Pratik Vats dan Subham (Eeb Allay Ooo!), Love Sex Aur Dhokha 2 (atau dijual dengan nama LSD2) adalah antologi berani sebagaimana karya sang sutradara biasanya. Sebuah voyeurisme yang seksi dalam menelanjangi batas antara realita dan maya serta keresahan masa kini yang dibungkus sedemikian menggebu-gebu. Itulah mengapa sulit untuk terkoneksi sepenuhnya kala sang sutradara terlampau cerewet dalam menghadirkan muatan yang membuatnya kerap terpinggirkan, kentara terjadi dalam setiap pergantian segmen.
Meskipun, di saat yang bersamaan, Love Sex Aur Dhokha 2 adalah sebuah sajian yang patut disaksikan karena urgensinya yang begitu dekat dengan kenyataan. Secara estetis filmnya mencemooh perilaku manusia yang menggila kala di dunia maya dan disaat yang bersamaan, secara sistemis filmnya tampil berlebihan.
SCORE : 3/5
0 Komentar