Terkadang, tontonan semacam The Last Breath sangat dibutuhkan untuk sekedar memberikan sebuah hiburan pelepas penat ditengah rutinitas yang padat. Demikian keputusan yang saya terapkan ketika memutuskan untuk menyaksikannya tanpa ada keinginan lebih untuk filmnya tampil pintar maupun sarat pembaharuan. Melihat manusia yang berjuang dari serangan hiu dan bagaimana si monster menerkam mangsanya sudah lebih dari cukup. Namun, The Last Breath nyatanya tak memberikan harapan sesuai keinginan.
Sejatinya, narasi yang ditulis oleh Andrew Prendergast dan Nick Saltrese (Shark Bait) memiliki modal yang cukup untuk memberikan sebuah ketertarikan sedari paruh awalnya berlangsung. Dikisahkan pada Perang Dunia II terjadi sebuah serangan yang turut melibatkan kapal selam Jerman yang melangsungkan serangan terhadap kapal fregat Amerika, USS Charlotte, yang menyebabkan kapal tersebut tenggelam dan menghilang.
Noah (Jack Parr) dan Levi (Julian Sands), seorang penyelam professional menemukan bangkai kapal USS Charlotte dalam tumpukkan pasir selepas badai besar yang melanda Karibia. Penemuan tersebut lantas menarik perhatian keempat teman Noah: Brett (Alexander Arnold), Logan (Arlo Carter), Rilley (Erin Mullen), dan Sam (Kim Spearman) yang datang mengunjungi sang rekan langsung dari New York.
Butuh sekitar kurang lebih setengah jam untuk menunggu mereka menyusuri bangkai kapal yang semula tak diizinkan Noah-selain terpaksa karena desakan finansial untuk membantu Levi. Setidaknya, para penulis memberikan karakteristik cukup memadai (meski tak mendalam, dan tak terlalu dubutuhkan bagi sajian popcorn movie seperti ini) bagi masing-masing karakter. Misalnya, Brett si influencer yang haus akan eksistensi konten hingga Sam, seorang lulusan ilmu kedokteran yang menaruh perasaan terhadap Noah.
Semula, sutradara Joachim Heden (The Dive, Breaking Surface) membangun ketegangan dengan menciptakan klaustrofobia serta ruangan sempit yang dipenuhi besi berkarat untuk disusuri para karakternya yang cukup efektif karena ketegangan dibangun secara perlahan. Terdapat perasaan was-was yang bisa saja terjadi di belakang maupun di depan karakternya yang senantiasa menghadang, terlebih selepas mereka melakukan kecerobohan serta kebodohan yang semakin menegaskan The Last Breath sebagai sajian arus utama yang nihil pembaharuan.
Sudah seharusnya yang terjadi setelahnya adalah ketakutan terbesar yang tanpa sadar mengintai lewat wujud seekor hiu putih yang siap menerkam, tambahkan dengan ketersediaan oksigen yang menipis pula insiden yang diluar dugaan yang memancing bahaya. The Last Breath bak sebuah kombinasi efektif untuk menciptakan sebuah eskapisme sarat hiburan. Di atas kertas potensi tersebut sudah terpenuhi, namun tidak dengan hasil eksekusi yang kerap menjadi titik terlemah film ini.
Bak seorang pelari yang terlalu santai dalam kompetisi marathon, The Last Breath kerap kelabakan dalam mengatur tempo hingga menciptakan sebuah kejenuhan disamping kurang cakapnya Heden memainkan tempo beroktan tinggi. Jangankan ketegangan, urgensi setiap karakternya meregang nyawa urung terasa akibat terlalu impulsifnya karakterisasi yang sebatas menjadikan mereka sebagai body count, tak lebih.
Alhasil, apa yang seharusnya tampil menegangkan tersaji datar tanpa adanya ketakutan sedikitpun. The Last Breath tak semenakutkan judulnya yang kebingungan menampilkan sebuah hiburan paripurna yang berujung kekurangan tenaga. Sekali lagi, potensi yang urung tergali karena kurangnya sebuah eksplorasi dan eksekusi menjadi sebuah dampak yang merugi.
SCORE : 2/5
0 Komentar