Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - TAROT (2024)

 

Disadur dari novel Horrorscope buatan Nicholas Adams, sulit untuk tak tertarik dengan premis Tarot yang membaurkan horor dengan ramalan horoskop maupun zodiak. Keterkaitan yang brilian ini nyatanya hanya berjalan di permukaan saja, ketika para pembuatnya sibuk menambah kadar teror dengan jumpscare serampangan dengan menampilkan wajah sang entitas memenuhi layar. Sungguh sebuah kemalasan yang disayangkan.

Kisahnya menyoroti sekelompok mahasiswa yang menyewa sebuah tempat di Catskills untuk merayakan teman mereka, Elise (Larsen Thompson). Sebagaimana tipikal film serupa yang menampilkan para kebodohan remaja, tanpa sengaja mereka menemukan sebuah kotak kayu berisikan kartu tarot yang digambar oleh tangan. Elise pun kemudian meminta salah satu temannya, Haley (Harriet Slater) si mahasiswa astrologi yang memahami dan paham cara membaca ramalan.

Meskipun peraturan menggunakan dek orang lain melanggar aturan, mereka nekat meminta Haley untuk membacakan ramalan berdasarkan zodiak masing-masing. Tanpa mereka sadari, membuka dan membaca kartu tarot turut melepaskan entitas penuh dendam yang telah eksis sejak akhir abad ke-18.

Tak butuh waktu lama untuk mereka mendapatkan teror yang semula mengikuti apa yang telah Final Destination lakukan, terdapat eksplorasi terkait barang sederhana yang justru menjadi pemicu meregangnya nyawa. Setidaknya itu terjadi di dua kematian awal karakternya.

Selanjutnya, deretan kematian yang dialami para karakternya jauh dari kesan kreatif alih-alih repetitif. Pun, horor yang dihasilkan berasal dari jumpscare yang kian dilipatgandakan yang berpotensi memecah gendang telinga tatkala scoring-nya sebatas menaikan volume sekencang-kencangnya. Alhasil, paranoia pun tampil sebagai daya kejut, bukan murni rasa takut.

Tarot menandai kali pertama Spenser Cohen dan Anna Halberg (sebelumnya berkolaborasi lewat Extinction hingga Expend4bles) menduduki kursi sutradara (turut merangkap sebagai penulis naskah). Keduanya menyisakan pekerjaan rumah yang banyak, meskipun harus diakui desain hantunya patut untuk diapresiasi. Lihat tampilan The High Priestess, The Hermit hingga The Hanged Man yang jauh dari kesan buruk (andai kehadiran mereka dapat dimaksimalkan).

Tarot memang jauh dari sebuah pembaharuan, karakternya masih diisi oleh keputusan bodoh para karakter remaja pada umumnya dengan karakterisasi yang amat disepelekan. Pun, menjelang third-act Tarot menampilkan sebuah keputusan yang terlampau bodoh dengan menambahkan salah satu karakter kunci hanya untuk berakhir mati dini.

Konklusinya pun mengambil jalur aman dengan pacing yang tergesa-gesa karena durasi sudah melamapui batas. Tarot dipenuhi keklisean horor klasik yang jauh dari kata asyik (kecuali bagi anda yang mencintai parade jumpscare berisik). Segala kebetulan dan kemudahan seketika unjuk gigi dengan tambahan romansa cringey yang seolah jadi cara curang pembuatnya mengakhiri sebuah kutukan yang semula sulit untuk dilumpuhkan.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar