ADN

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - MONKEY MAN (2024)

 

Mudah untuk menyebut debut penyutradaraan pertama Dev Patel (juga merangkap sebagai pemain, sutradara dan penulis bersama Paul Angunawela dan John Collee) sebagai satu lagi hasil "kopian" John Wick (premis utama tentang balas dendam pula dalam salah satu adegan melibatkan anjing di dalamnya). Anggapan seperti itu mungkin tidak bisa dihilangkan, namun dapat ditepis secara lugas dan tegas oleh Dev Patel. Kesamaan latar belakang hanya berjalan di permukaan, lebih jauh filmnya menampilkan modifikasi sekaligus pembaharuan ketika unsur kultural turut melekat lebih dalam.

Patel memerankan seorang pria tanpa nama (meski di kredit akhirnya dituliskan sebagai Kid) yang bekerja di bawah tunjukkan tangan Tiger (Sharlto Copley) di ruang tinju bawah tanah hanya untuk dihabisi sampai berdarah. Mengenakan topeng monyet (dari sana rujukan terkait judulnya berasal), dari sana Kid bertahan hidup sembari merancang misi untuk membalaskan dendam kematian ibunya.

Target utamanya adalah Baba Shakti (Makarand Deshpande), pria tua yang mengenakan topeng agama demi meraih simpati dan kekuasan; bersama dengan anak buahnya, seorang polisi korup, Rana Singh (Sikandar Kher) yang tak jauh beda dengan sang guru spiritualnya.

Meskipun mengedepankan narasi straight-forward, Monkey Man tak lantas menampilkan baku hantam sebagai andalan. Patel meluangkan waktu untuk bercerita, menyoroti masa kecilnya yang penuh akan luka dan trauma. Montase tersebut terbungkus dalam gerak cepat yang tepat (meski sesekali kesan repetisi muncul). Untuk itulah, paruh pertama filmnya kaya akan isi dari sebuah narasi yang turut berkontribusi di beragam lini.

Ketika menampilkan sekuen aksi, Monkey Man jelas patut diapresiasi lewat koreografi yang patut diacungi. Mulai dari perkelahian tangan kosong, baku hantam hingga aksi kejar-kejaran yang dibungkus pergerakan kamera dinamis. Pernyataan terakhir adalah yang paling kentara membantu sumbangsih filmnya hasil bidikan kamera Sharone Meir yang telah menghasilkan judul populer seperti Whiplash (2014) hingga Rings (2017).

Monkey Man sempat tertaih-tatih tatkala absennya sekuen aksi urung mengisi, namun Patel mampu menebusnya di babak ketiga dengan sekuen aksi yang lebih brutal dan gila. Lebih spesial lagi, aksinya tak hanya sebatas mengisi namun turut memberikan relevansi sekaligus manifestasi terhadap unsur kultural miliknya. Tentang Hanuman yang kerap dicap sebagai pengkhianat para dewa, namun urung menyerah dengan segala upayanya. Pula tentang Siwa yang membawa kehancuran hanya untuk melahirkan peradaban baru.

Terpenting, Monkey Man turut membawa pesan empowerment lewat kehadiran para Hijra (transgender) yang memuja Alpha (penjaga kuil Ardhanarishvara, dewa dengan dua tubuh, perpaduan Siwa denga permaisurinya, Parvati). Di dunia nyata mereka kerap diasingkan dan dicap pembelot, Kid membuktikan eksistensi juga perlawanan yang seharusnya dilakukan oleh mereka para kaum marginal. Sebuah sekuen aksi melibatkan mereka dengan sari yang mengayun pelan nan indah. Pun, dalam sebuah kesempatan Kid menggunakan hak sepatu (yang identik dengan wanita) sebagai senjata melawan musuhnya. Monkey Man mungkin menjauh dari kebanyakan jagoan yang menampilkan sisi maskulin, kini giliran unsur feminin yang membawa sebuah perubahan signifikan.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar