Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - ANACONDA (2024)


Entah ini merupakan remake resmi atau bukan (karena laman IMDb menyebutkan kata re-imagining) yang jelas sutradara Hesheng Xiang dan Qiuliang Xiang (Monkey King and the City of Demons, Shui guai 2: Hei mulin, Exorcism Master) membuatnya dengan semangat bermain-main tanpa pernah menahan batasan. Sekelompok kru film digantinya dengan para rombongan sirkus yang tengah dilanda krisis finansial. Bagaimana cara mereka sampai ke hutan hujan lebat tropis? Sederhana. Mereka hanya membutuhkan uang.

Paruh pembukanya tampil tanpa basa-basi, menyiratkan ketamakan manusia kala dihadapkan pada hasrat menguasai dan menghasilkan uang. Peran tersebut diemban dengan sangat cerdik oleh Terence Yin berbekal sorot mata tajam penuh kebengisan, yang tak segan menggorok leher maupun menangkap ular untuk memakan dagingnya secara mentah.

Sebagaimana kebanyakan tema film serupa, banyaknya karakter dimaksudkan sebagai calon mangsa sang ular raksasa. Karakternya pun mewakili stereotifikal hiburan opera sabun, di mana terdapat wanita perkasa (diperankan Nita Lei), pria bertubuh tambun, wanita seksi hingga sosok dukun dan vampir Cina. Nama yang disebut terakhir memang diluar dugaan, seolah sengaja dimaksudkan untuk pengisi comic-relief (meski kehadirannya jelas mengganggu pola serius filmnya).

Anaconda pun turut menghadirkan sebuah homage bagi film aslinya. Tentu, perubahan sulit untuk dihindarkan yang terkadang dibuat tanpa memperhatikan aturan yang jelas. Anakonda berwarna hijau digantikan dengan Anakonda berwarna merah (bahkan karakternya menyebutnya sebagai sanca batik raksasa). Inkonsistensi semacam ini jelas tidak perlu untuk diregulasi maupun dikomentari, karena Anaconda secara terang-terangan tampil dengan semangat sarat hiburan yang terkadang mengenyahkan logika untuk mencernanya. Dari sini suspension of disbelief diterapkan.

Jika hal itu sudah diterapkan, kesenangan menyaksikan ular raksasa memangsa para manusia menghasilkan sebuah hiburan paripurna tersendiri. Pun, secara mengejutkan CGI-nya tampil rapi dan jauh dari kesan artifisial (meski beberapa tampilan ularnya kurang mulus dan dapat dimafhumi karena berangkat dari anggaran yang tak besar). Ketegangan turut ditekan yang sontak membuat para penontonnya beteriak kegirangan. Dari sini, Anaconda sudah menjalankan tugasnya dengan baik.

Mungkin tak banyak yang ingin saya sampaikan karena pengalaman yang nyata hanya untuk disaksikan sendiri segala kegilaan tanpa batas yang mampu menghadirkan sebuah waktu yang pantas. Setidaknya, Anaconda boleh dikunjungi sembari menunggu kabar remake resminya yang katanya tengah dikerjakan naskahnya oleh Evan Daugherty (Snow White & the Huntsman). 

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar